CHAPTER
9. EPILOG
Hai. Namaku Rio, penulis cerita ini. Aku adalah seorang
lelaki yang ber-profesi sebagai nelayan di salah satu bibir pantai Provinsi
Aceh. Aku tinggal disebuah rumah yang tak akan pernah selesai proses
pembangunannya. Mungkin puluhan tahun lagi. Walaupun aku menyukai sebagian
kisah hidupku yang lurus-lurus saja, tidak dapat dipungkiri, akhirnya
petualangan itu datang juga.
Seorang
gadis muncul di hadapanku membawa segelintir kisah hidupnya di masa lalu.
Mengajakku pergi menuju masa depan tanpa kepastian. Dia adalah seorang yatim
piatu yang sedari kecil dilatih untuk menjadi mata-mata oleh organisasi
kriminal asal Jepang. Pada usia 16 tahun ia menjalankan tugas besarnya dari
Jakarta menuju Palembang untuk proses ekspansi bisnis narkotika yang lebih
besar.
Selama
disana ia ditampung oleh dua orang bayaran yang memalsukan identitasnya menjadi
anak mereka. Memulai hidup barunya menjadi anak SMA. Ia memberikan informasi
apapun kepada organisasi kriminal tersebut untuk membantu melancarkan jalan
bisnis mereka di kota itu. Semua berjalan lancar saja… hingga akhirnya masa
tugasnya hampir usai.
Gadis
muda itu merasakan juga yang namanya cinta, walau ia tak terlalu mengerti.
Namun saat membayangkan dirinya akan kembali pulang ke Jakarta setelah tamat
SMA, hatinya sakit. Ia tak akan pernah bertemu lagi dengan guru favoritnya.
Yang walaupun selama ini hanya mengisi waktu bercakap ringan, tak pernah
memberikan pandangan penghakiman. Kata-katanya selalu santai dan memberikan
jalan keluar. Aku pun tak sadar, apa aku benar begitu? Tapi aku tak perduli,
karna aku juga menyukainya.
Maka
ia merencanakan malam itu, malam dimana ia harusnya mengantarkan “upah
keamanan” berupa berlian besar bersinar berwarna merah muda, pada dua orang
oknum polisi yang juga sudah ia kenal sebelumnya. Bima, yang menjadi
pelindungnya di kalangan remaja saat itu ikut serta, karna rupanya, anak kecil
itu juga menjadi salah satu pengedar di area sekolahnya.
Ia
merencanakan semua. Kematian tiga orang itu, termasuk keputusanku untuk
mengajaknya melarikan diripun sudah dia perkirakan. Sebegitu kenal dia padaku
hingga mampu memprediksi keputusanku. Sebaliknya, aku tak mengenalnya sama
sekali.
Setahun
setelah rencananya sukses. Ternyata organisasi itu cukup besar dan mampu
mencari kami hingga ke wilayah terpencil sekalipun. Semuanya akan menjadi fatal
jika saja Tuhan tidak berbaik hati mempertemukan kami dengan dua orang yang
baru saja aku kenal.
Adalah
Ismail dan Aera, yang satu berbadan kecil dan super lincah serta mahir dengan pisaunya.
Satu lagi berbadan besar dan amat kuat. Ismail berasal dar kota Jakarta, dan
Aera adalah orang Korea. Bukan, bukan korea yang punya banyak produksi film
drama itu.
Bagaimana
mereka bertemu dan apa yang terjadi pada
mereka, itu akan menjadi kisah tersendiri. Namun yang pasti mereka memang sudah
mengincar organisasi yang sama yang sedang mengejar kami saat ini. betapa
sebuah kebetulan yang terencanakan oleh tangan Tuhan ketika mereka mengikuti tiga
orang yang mengejar kami hingga ke pelosok hutan. Mereka menunggu hingga
Akihiro, salah satu orang yang cukup berpengaruh menampakkan batang hidungnya,
dan mendadak memberikan serangan mematikan. Menyelamatkan nyawaku yang sudah
tiga kali hampir melayang jauh, malam itu.
Aku
bebaring terlentang menatap langit-langit rumah kami yang tak memiliki pelafon.
Rangka bangunan terlihat jelas hingga ke bagian atap yang terbuat dari nyiur.
Kupegang, kemudian ku pandangi berlian sebesar ibu jari di tanganku. Indah..
kamudian kuletakkan di meja samping ranjang. Namun tidak seindah gadisku yang
sedang terbaring menyamping melihat ke arahku, di ranjang dengan kasur busa
yang sama.
Aku
pun ikut berbaring menyamping menghadap padanya. Ku ulurkan tanganku pelan
mengusap pipinya. Ibu jariku mengusap pelan menuju bibirnya yang merah.
Wajahnya terlihat cerah dengan senyum manis yang indah. Tidak lagi datar
seperti dulu. Perlahan aku mendekat. Lalu memberikan kecupan hangat. Lama
sekali.
Namaku
Rio, dan nama gadisku adalah Lisa, kami tinggal di salah satu bibir pantai
Provinsi Aceh. Setidaknya untuk saat ini. Mungkin esok namaku adalah Abdullah
dan namanya Maimunah, kemudian kami tinggal di Tokyo dengan hiruk-pikuk yang
menyesakkan. Siapa yang tau.
Kisah
ini berakhir disini. Atau setidaknya untuk saat ini. Entahlah… seperti yang
kukatakan. Siapa yang tau.
Sampai
jumpa.
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.