CHAPTER
5. STEFANI
“Mereka
bilang lidah bisa lebih tajam dari pedang, mungkin begitu gambaran jelasnya
dalam kasus ini. tapi bukan aku yang menusuk duluan. Kalau dipikir-pikir lagi,
dia mungkin pantas mendapatkannya. Ya, dia memang pantas.
“Gadis
itu, walau aku ragu dia masih gadis… kau tau apa yang dia katakan saat pertama
kali mendengar orang tuaku meninggal? ‘aku iri padamu’ katanya. Dari mulut
baunya yang tak tertahankan itu dia mengatakan iri padaku. ‘harusnya orang
tuaku cepat mati juga, dengan begitu aku akan segera mewarisi kekayaan mereka’
lanjutnya lagi. Di tengah kelas yang sedang berlangsung. Aku yakin ada orang
lain yang mendengar juga.
“kemudian
suatu hari, saat aku sedang berdiam diri di toilet sekolah. Aku mendengar ia
datang masuk ke ruang bagian luar toilet, tempat dia dan beberapa
teman(babu)nya biasa berdandan. Ia mem-bully
teman sekelas kami yang lain. Tentang betapa gemuk dan jeleknya dia. Kejadian
yang biasanya hanya aku saksikan di televisi, ternyata terjadi di depan mataku.
Apa yang aku lakukan? Tidak ada. Aku hanya mendengarkan sampai ia benar-benar
selesai dan meninggalkan gadis malang itu menangis sendirian di pojokan toilet
busuk. Well… sebenarnya dia tidak sendirian karna ada aku disana, tapi dia tak
melihatku jadi… begitulah.” Ia berhenti sambil megusap rambutnya yang sudah
agak kering. Baju longgarku yang ia kenakan juga susah tak basah oleh kulitnya
lagi.
Aku
membantu mengusap rambutnya, menyingkap mengaitkan pada telinga agar tak
menghalangi bibirnya yang bergerak-gerak.
“biar
aku luruskan dulu, wanita yang kita bicarakan ini, stefani bukan?” kataku
bertanya ringan.
“siapa
lagi?” katanya sambil mengatupkan mulut dan mengangkat kedua alisnya. Matanya
terlihat lebih bulat dan membuatnya tampak makin cantik.
“Sebenarnya
aku tidak ingin ikut campur apapun kejahatan kecilnya itu, selama ia tak
menggangguku, akan ku abaikan juga tingkahnya.
“tapi
suatu waktu… dia ingin berkencan dengan seorang anak populer dari sekolah lain.
Dan entah ada angin apa, dia memaksaku untuk ikut…”
Aku
tertawa sejenak.
Dia
melihatku heran. Aku menggengam kedua tangannya yang sedang memegang gelas
coklat hangat. Dan mengarahkan dia untuk meminumnya.
“
kau sungguh tidak tahu kenapa?” tanyaku.
“tidak
tau apa?” tanyanya balik
“tidak
tau kenapa dia memaksamu untuk ikut”
Dia
menggeleng heran.
“karena
kau cantik.”
Mimik
wajahnya menunjukkan bahwa ia makin heran. Walaupun sedikit diawali dengan
senyum sipu malu.
“teman-teman
dari pria itu mungkin bilang, mereka akan membiarkan stefani ikut menjalani
apapun itu kegiatan mereka, asalkan mereka mengajakmu.” Sambungku lagi. “Aku
bisa membayangkan selanjutnya.”
“apa?”
kini gantian dia yang mulai memperhatikanku.
“feel free to stop me anytime you think I’m
wrong.”14 Kataku sambil sedikit melirik wajahnya.
“setelah
ia memaksamu ikut, kau mulai merasa jengkel padanya. Dan aku tak terlalu
tertarik bagaimana prosesnya, untuk membalas dendam pada stefani, alih-alih
dekat dengan teman-teman lelaki itu… kau malah dekat dengannya langsung.
Praktis kau menjadi ibu presiden berandal-berandal itu. Stefani tak bisa
macam-macam lagi denganmu karna kau mendapatkan perlindungan dari mereka. Stefani
stress berat dan ia bunuh diri tahun lalu.” Aku melihatnya matanya dalam-dalam.
Kami saling berpandangan agak lama. Aku mengusap kepalanya lagi dan tersenyum.
“tapi itu tetap tidak membuatmu menjadi pembunuh.”
“seminggu
sebelum ia bunuh diri… aku memergokinya menangis di pojokan bawah tangga lab
bahasa. Saat itu sepi sepulang sekolah. Aku tak tau perempuan sekejam Stefani
bisa menangis. Saat dia melihatku, dia tidak terlihat menjengkelkan dan mulai
berbicara dengan nada putus asa…
‘tidak
bisakah, kau mengasihaniku… kau bisa mendapatkan lelaki manapun, tapi kenapa
dia? Aku… aku akan melakukan apapun untukmu, apapun. Tapi setidaknya, walaupun
aku tak bisa bersamanya… kau pun jangan bersamanya. Setidaknya tidak di
hadapanku’ katanya sambil terisak… lalu ku katakan ‘apapun? Kau mau melakukan apapun?’ Aku
mendekat ke telinganya dan berbisik… ‘kalau begitu mati saja.’ Aku berkata
ringan sambil berlalu.
Kemudian
aku meninggalkannya untuk mati seminggu kemudian.”
“tetap
tidak membuatmu membunuhnya” kataku.
“aku
tau.” Katanya. “tapi kali ini…” Ia menoleh kebelakang, ke arah tumpukan baju
seragamnya yang warnanya sudah membaur dengan darah.
Bersambung…
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.