CHAPTER
6. BIMA
Bima
adalah lelaki idaman Stefani yang membuatnya bunuh diri. Seorang pelajar kelas
12 yang cukup terkenal di kalangan remaja seusianya. Sekaligus anak yang
beritanya barusan kutonton, tentang anak hilang yang belum pulang selama tiga hari.
Aku cukup mengenalnya karna gadis di hadapanku ini dekat dengannya. Satu yang
aku tau, anak itu kaya. Dan dia memiliki masalah serius dengan obat-obatan
terlarang.
Gadis
belia di depanku berdehem dan memulai ceritanya kembali setelah melihat pakaian
sekolahnya yang basah dengan banyak bercak darah.
“Hal
itu terjadi sore tadi. Saat aku menyadari tubuhku terikat pada sebuah kursi tua
yang masih cukup kuat. Mulutkupun di bungkam dengen kain yang melingkar ke
belakang kepalaku. Aku tak bias menjerit. Ruangan itu terasa gelap. Sebaris dua
baris sinar jingga cahaya sore masuk ke sela-sela dinding papan yang tidak
tertutup dengan rapi. Baunya terasa seperti lahan rawa. Dengan nyaring bunyi
jangkrik yang mulai terdengar, seseorang membuka pintu ruangan dan masuk ke
dalam.
“Bima.
Bukan berarti aku tak menduganya, tapi aku tak tau dia berani berbuat sejauh
ini. Selama ini dia berusaha terlihat gentle dan manly kepadaku. Dalam otakku,
mungkin senakal apapun anak ini, setidaknya dia masih memiliki harga diri. Tapi
aku salah…
“Sudah
lama memang, ia mencoba merayuku. Bahkan ingin menjebakku dengan berbagai cara.
Karaoke, diskotik, open party… tapi semua itu masih belum bisa mencapai
keinginannya. Apalagi, jika bukan kehormatanku. Walau aku sebenarnya tak yakin
aku masih memiliki kehormatan”
Kali
ini aku diam saja sambil menatapnya penuh keseriusan. Cerita ini memang bukan
main-main. Tetap saja, dia terlalu merendahkan dirinya sendiri. She is
beautiful and kind. Aku tau, bahwa dia tau itu.
“Bima
mendekat dan mulai membelai pipiku dengan tangannya yang kotor. Namun entah
setan apa yang merasukiku. Aku menerimanya saja. Aku tau jika aku berusaha
menolak atau bahkan berontak, situasinya makin parah. Maka permainan saling
rayu untuk menjebak satu sama lain ke dalam perangkappun dimulai. Dan aku rasa,
aku mulai lihai dalam hal itu.”
Dia
berhenti berkata sambil tertawa sejenak, menunduk kebawah. Entah itu benar
terpingkal atau tenggelam dalam kesedihan, aku mendapatkan waktu yang sulit
untuk mengartikannya.
“aku
diam saja dan menatap Bima dengan berani. Bima pun mulai menatap balik, seperti
mencari tau apa yang aku pikirkan. Yang artinya menjadi waktu yang buruk
untuknya. Mataku melihat kebawah ke penutup mulutku menandakan dia untuk
membukanya. Dan dia melakukannya.
’apa
yang kau lakukan mengikatku begini?’ kataku seperti orang yang kesal.
‘aha,
ahah, ahahahahahahah…’ Bima tertawa lantang sambil terpingkal memegangi
perutnya. ‘menghindari ini dan itu.’ Katanya santai sambil tetap menatap
mataku. Akupun melakukan hal yang sama.
“matanya
mulai menyipit dan seakan mencari tau lebih dalam apakah aku akan menggorok
lehernya jika ia melepaskan ikatan tali pada tubuhku dan tanganku yang
terjuntai ke belakang. Tau apa bedebah cilik ini, dalam hatiku berkata.
‘kau
tak marah padaku?’ kata Bima lagi sambil terheran-heran.
’aku
pernah mendapatkan yang lebih buruk’ kataku sambil membuang nafas. ‘tapi jika
kau tak melepaskan aku sekarang aku benar-benar akan marah’ kataku mulai
bermain dengan pikirannya.”
“dia
melepaskanmu?” potongku.
Gadis
mungil ini hanya tersenyum dan mengangkat coklat panasnya dan menghirupnya
dengan tarikan panjang. “ ternyata tidak semudah itu.”
“tangannya
bergerilya menjelajahi tubuhku.” Ia terdiam menelan ludah. Kami berdiam diri
agak lama. Tampaknya dia sedang memilih mana yang harus diceritakannya dan mana
yang tidak.
“tapi
aku diam saja. Aku yakin menjeritpun tak akan menghasilkan apa-apa.” Lanjutnya.
“sesaat
setelah dia mulai menikmati kejahilannya, aku mulai berontak dan sedikit
menghentakkan kursi dengan berat tubuhku… ‘entah kau mau melakukannya cukup
sekali ini dengan kekerasan, atau melakukannya dengan mudah dan tidak perlu
mengakhiri hubungan kita. Kau pilih’ kataku saat itu mencoba berani
bernegosiasi.
“Bima
ragu dan menatapku sejenak. Aku merasa seperti orang bosan yang memandangnya
dengan bodoh. ‘aaaaaaahhhhh… cepat tanganku sudah sakit terikat sejak tadi’
kataku lagi mencoba bicara santai.
“kemudian,
Bima benar-benar melepaskannya. Mulai dari ikatan kakiku, aku masih bersabar
dan belum melakukan apapun. Tak lama kemudian dia mulai melepaskan ikatan di
badan dan tanganku. Lepas sudah semua ikatan, tak selang berapa detik… aku
memegang tali tambang bekas ikatan di tanganku dan memeluknya dari belakang.
“Bima
bersantai dan lengah… ia kira aku sedang ingin bermesraan dengannya. Padahal
tidak lama setelah itu aku langsung mengikatkan tali tambang tadi ke lehernya
dan menarik sekuat -kuatnya ke belakang. Kami berdua terjatuh dengan posisi
tanganku menarik tali yang mencekik lehernya. Kakiku mendorong bagian pundaknya
kebawah. Tangannya mencoba menarik tali di lehernya namun tarikanku terlampau
kuat dan mengeras.
“Gurat
dahinya mulai terlihat merah dan tangannya meronta-ronta mencoba melepaskan
kakiku dari pundaknya. Suaranya mulai serak dan aku melihat lidah mulai
terjuntai keluar dari atas.”
Aku
memperhatikan dengan seksama.
“tapi
dia memiliki pisau lipat di saku belakang celananya.” Lanjutnya lagi. Kemudian
aku membuang nafas menghilangkan ketegangan.
Gadis
belia di hadapanku ini kembali meminum coklat yang sudah mulai dingin di
tangannya. Menghirupnya sebentar dan siap melanjutkan cerita.
“Bima
menarik pisau dan merancu dengan sisa nafas di tenggorokannya. Aku mencoba
mempertahankan posisi agar dia tetap tertekan hingga… hingga dia kehabisan
tenaga. Namun pisaunya sedikit mengenai kakiku dan aku goyah, mengendurkan
tekanan pada kaki kiri”
Aku
melihat kebawah, kulihat sayatan kecil pada bagian luar pergelangan kaki kirinya.
Aku ingin berdiri menggambil perlengkapan p3k tapi dia memegang lenganku
menandakan tidak usah repot-repot.
“Lukanya
sudah kering. Lagipula bersih diguyur hujan.” Katanya.
Dia
menarik nafas panjang dan mulai melanjutkan cerita.
“Bima
mulai mendapat kesempatan melonggarkan tali di lehernya. Dan dia memaksimalkan
kesempatan itu. Sambil masih dengan sedikit batuk dan nafas ter-engah-engah,
Bima meloloskan diri dan berdiri mengacungkan pisaunya padaku. Tapi aku juga
berdiri dan cepat mengangkat kursi bekas tempat aku diikat, dan melemparkan ke
arahnya.
“Entah
aku mendapat kekuatan dari mana, lemparanku cukup kuat dan salah satu kaki
kursi mengenai kepalanya, hidungnya patah. Begitu juga salah satu kaki kursi
itu. Selagi Bima menjerit keras memegangi hidungnya, aku tak membuang
kesempatan dan mengambil salah satu patahan kaki kursi, ku hempaskan pada
tangan kanannya yang sedang memegang pisau.
“pisau
itu terpental menuju kolong hamparan papan-papan tak terpakai di pojok ruangan.
Kini Bima menjerit gantian memegangi tangannya. ‘cewek bangsat!’ katanya keras.
Aku sudah bersiap memukul kepalanya setelah itu, tapi ada bunyi pintu yang
terbuka dan membuatku sedikit kehilangan fokus. Saat itulah, saat mataku
kembali fokus ke Bima, tonjoknya yang begitu kuat menghantam rahangku. Uppercut
sempurna untuk seorang gadis sepertiku, aku pun jatuh tak sadarkan diri.”
Aku
memperhatikan wajah gadis di hadapanku. Ada sedikit memar biru di rahang
bawahnya. Kuusap lembut dengan tangan kananku. Dan tangan kirinya ikut
menggenggam tanganku. Sudah tak apa-apa, isyaratnya.
Kemudian
kami kembali ke posisi semula dan dia mulai bercerita lagi.
“Saat
aku terbangun mungkin sudah larut. Akupun tak tahu, tapi udara dingin sudah
mulai merasuk memenuhi ruangan dan cahaya matahari tak terlihat lagi. Lampu
gantung yang redup menjadi satu-satunya media yang menyambung penglihatanku dan
area sekitar. Masih ruangan yang sama.
“Aku
mendengar Bima sepertinya sedang bersitegang di ruang sebelah. Suaranya saling
beradu tinggi dengan yang nampaknya lebih dari satu orang. Kupandang sekitar
tubuhku yang sedang tegeletak di lantai. Tanganku terikat kebelakang, dan
kakiku diikat lebih kencang dari sebelumnya. Posisiku bagai ulat yang
menggeliat-geliat.
“Aku
mencoba tenang dan bernafas dengan pelan. Hamparan debu beterbangan di sekitar
hidungku. Saat itu, aku benar-benar berdoa untuk tidak bersin. Aku melihat dan
menyisir area sekitar dengan penglihatan seadanya. Mencoba mencari tau apa yang
bisa aku lakukan.
“Terlihat
silau cahaya di balik tumpukan papan di pojok ruangan. Pisau yang tadi
digunakan Bima masih tergeletak disana. Aku bergeliat sepelan mungkin agar
mereka tak mendengar dari ruang sebelah. Untungnya mereka berbicara dengan nada
tinggi. Agaknya suara ulat menggeliat yang aku timbulkan tak terjamah telinga
mereka.
“Aku
miringkan badanku kesamping, kucoba menggapai pisau itu dengan tanganku yang
terikat ke belakang. Namun posisi ini membuat aku susah mengendalikan tanganku.
Alih-alih mendapatkan pisau itu, aku malah membuatnya makin jauh. Aku berputar,
kini miring menghadap tumpukan papan. ku bengkokkan kakiku dan kuselipkan masuk
ke dalam tumpukan papan. Sulit sekali menggapai pisau itu, bahkan dengan ukuran
kaki sekecil kakiku, dan saat aku hampir mendapatkannya…
“suara
tembakan terdengar dari ruang sebelah. Seseorang menjerit dan mengeluarkan segala
cacian yang dia punya. Bima tampaknya baik-baik saja dengan suaranya yang
paling lantang dan menyuruh dua orang lainnya agar diam dan tidak bergerak.
Saat itu aku berpikir, Celaka! Sepertinya bima yang menembakkan senjata.
“aku
bergegas meraih pisau dan mengambilnya dengan tanganku. Dengan susah payah aku
memotong ikatan di tangan ini, akhirnya
lepas juga. Saat itu sebenarnya aku benar-benar takut. Kurasakan dadaku
berdebar kencang. Jika bima sampai datang ke ruangan itu dan melihatku ingin melepaskan
diri lagi. Habislah sudah…
“Aku
sedikit terbata-bata ingin memotong tali yang mengikat kakiku. Namun suara
tembakan lain terdengar dan mereka semua terdiam setelahnya. Aku pikir bima menuju
ke ruanganku.
“tanpa
pikir panjang, aku kembali ke posisi semula dengan tangan yang tampak bagai
masih terikat kebelakang. Pisau ku sembunyikan di balik tanganku dan
berpura-pura pingsan.
“tak
lama kemudian Bima datang dan nampaknya mondar-mandir di sekitarku. Aku tak tau
persis karna masih memejamkan mata berpura-pura pingsan. Kemudian dia menunduk,
nafasnya terasa di ubun-ubunku. Untungnya dia tak mendengarkan degupan
jantungku.
“Bima
membalikkan badanku agar menjadi terletang dan mulai menepuk pipiku bagai
tamaparan ringan di kanan dan kiri. Kemudian memegang daguku dan berkata. ‘hey…
hey…’ aku masih saja berpura-pura pingsan. ‘shiiiiiiiiit!’15
katanya keras.. aku tau dia menoleh kebelakang saat mengatakan itu karna arah
suaranya tidak padaku.
“saat
itulah aku mengintip dan memperhatikan dia masih jongkok di hadapanku namun
masih melihat ke arah pintu menuju ruang sebelah. Tanpa pikir panjang ku tarik
tanganku kedepan dan menyabetkan pisau menancap di lehernya bagian samping.
Reflek dan terkejut, tangan kanannya ingin meraih pisau yang masih menancap di
lehernya. Namun kakiku yang masih dengan posisi terikat sigap menahan tangannya
dengan menjepitnya menggunakan lekukan lututku.
“Tangan
kirinya yang masih memegang senjata mengarahkan senjata ke arahku dan langsung
tertahan dengan dua tanganku yang lain. Aku menahan tanganya sekuat tenaga
menjauhkan mata pistol dari wajahku. Walau sudah tertusuk namun tenaganya masih
cukup kuat. Darah mulai mengucur dari leher dan mulutnya. Wajahnya tepat berada
di sekitar pundakku. Wajahnya yang memerah melotot ke arahku tanpa mengatakan
apapun. Urat lehernya berdegup sekali-dua kali memuncratkan darah ke seragamku.
Sampai akhirnya dia lemas dan membuka mulutnya lebar-lebar. Wajahnya
benar-benar memerah seakan semua aliran darah mengir kesana. Puncratan darah
dari lehernyapun makin kencang. Dan akhirnya pergulatan kami berakhir.
Gadis
di hadapanku berhenti sejenak, seolah mengingat-ingat lagi kejadian itu.
“Bima
mati lemas dengan kakiku mengunci tangan kanannya, dan kedua tanganku memegang
tangan kirinya.” Lanjutnya lagi.
“Aku
menyingkir dari tindihan kepala mayat Bima. Membersihkan debu di muka dan
mulutku lalu mengambil pisau dari lehernya untuk memotong tali yang masih
mengikat kakiku. Darahnya mengallir dengan deras dan segar. Seketika sekitar
lantai menjadi merah kental oleh darah dan debu
.
“aku
berdiri dan kuperhatikan tubuh lemahnya yang terkulai. Wajahnya masih merah
dengan mulut yang menganga serta mata yang kini sudah tertutup sebagian. Jika
dia masih melotot seperti tadi mungkin aku akan takut.
“Kusisir
seisi ruangan. Tak ada apapun. Beralih ke ruang sebelah. Aku melihat dua orang…
berseragam polisi. Satu orang sudah tak bernyawa dengan lubang di kepalanya dan
darah yang juga mengalir deras di sekitar lantai tempat dia terbaring. Mati.
“satu
orang lagi bernapas tersengal memegangi perutnya yang tertembak. Dia mencoba
menekan darah yang keluar. Namun tampaknya perut buncit itu tak sanggup menahan
aliran darah. Dia melihat kearahku, aku yakin nyawanya sudah dipenghujung karna
sepertinya ia tak sanggup bicara lagi. Ia mencoba berkata sesuatu tapi tak ku
perhatikan. Aku memikirkan hal lain.
“disaat
seperti itu, aku berpikir… apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus melapor
kepada petugas polisi lain dan mengatakan aku hanya korban yang di culik?
Apakah aku bakar saja semua barang bukti bersama tiga mayat ini? atau aku lari
saja dan menghilangkan semua jejak yang mengatakan aku berada disini?
Berpura-pura bahwa aku tak ada kaitannya.”
Aku
memegang daguku sedikit memberikan pendapat, “aku pikir melapor pada polisi dan
menjadi korban tak akan berhasil.”
“kenapa?”
tanyanya heran.
“orang
tua anak itu, orang tua Bima maksudku. Adalah orang yang cukup berpengaruh di
kota ini. orang seperti mereka tidak akan sedih ketika melihat anaknya mati
dengan mengenaskan. Mereka akan marah. Sudah jelas setelah itu, mereka akan
mencari orang lain untuk di salahkan. Dalam kasus ini, hanya kau yang tersisa.”
Kataku sambil menoleh menatapnya.
“membakar
tempat kejadian perkara juga tidak akan bagus. Menurutku…” kataku lagi
Gadis
itu masih memperhatikanku.
“Jika
polisi mendapati anggota mereka terbunuh disana bersama seorang yang lain. Dan
mereka semua mati terpanggang. Mereka akan tau ada orang lain di lokasi, yang
masih hidup dan tidak ikut terbakar disana. Lagi pula dimana kau akan
mendapatkan bahan untuk membakar mereka.”
Gadis
itu mengangguk-angguk meng-iyakan teoriku. Kemudian ia melanjutkan cerita…
“setelah
semua itu, aku bergegas ke ruang tempat mayat Bima tergeletak dan mengambil
bekas tali yang di gunakan untuk mengikatku. Pisau itu juga ku ambil dan ku
usap-usap gagangnya dengan pakaianku yang sangat lusuh. Menghilangkan sidik
jari. Kemudian aku letakkan pisau itu ke tangan seorang polisi yang sudah tak
sadarkan diri, yang tadi masih memegangi perutnya yang berlubang. Kini
tangannya memegang pisau yang aku gunakan menikam leher Bima.
“aku
melihat sekitar ruangan. Dua orang mati dan yang satu akan menyusul. Entah apa
yang dilakukan kedua polisi ini dengan Bima, namun aku yakin bukanlah sesuatu
yang baik. Setelah kurasa tak ada yang tertinggal untuk meniadakan keberadaanku
di sana bersama mereka. Aku pergi meninggalkan gubuk itu.
“tempatnya
sungguh jauh. Sebenarnya ada satu buah mobil dan satu buah sepeda motor yang
parkir di depan gubuk, kepemilikan Bima dan dua orang polisi itu kurasa, tapi
aku tak mungkin menggunakannya. Karna aku tak ingin terlibat dan membuat seolah
aku tak berada di sana.
“setelah
sekitar satu jam berjalan di jalan setapak, aku menemukan jalan besar beraspal
yang aku kenal daerahnya. Tempat itu agak dekat bandara.”
“Maksudmu
di area dekat sini?” kataku memotong. Karena area rumahku masih dekat dengan
bandara, walau tak terlalu dekat. Intinya masih di pinggiran kota.
Dia
mengangguk. “aku ingin segera keluar namun pakaianku tidak memungkinkan. Dan
masih banyak sekali kendaraan mondar-mandir. Jadi aku menunggu di balik
semak-semak hingga malam benar-benar larut. Dan untungnya, hujan pun turun…
“saat
hujan benar-benar deras, aku berlari menuju jalanan aspal dengan sangat cepat.
Aku tak pernah berhenti sampai memasuki jalan menuju komplek rumahmu.” Katanya
berhenti dan melihatku tajam. “kemudian tanpa aku sadari, aku sudah berdiri di
teras rumahmu.” Katanya dengan tatapan tak bersalah ke wajahku.
Anak
ini baru saja menghabisi nyawa seseorang dan masih bisa memamerkan wajah
seperti itu. Tapi bukannya takut, aku malah tersipu dengan tawa sambil
mengusap-usap rambutnya.
Aku
berdiri dan memperhatikan pakaian basahnya yang menumpuk dengan pakaian kotor
lainnya, masih terlihat bekas darah disana yang bercampur dan menyebar
menjadikan baju putihnya sedikit menjadi pink.
“dimana
tasmu?” tanyaku.
“di
perpustakaan” katanya.
Aku
menatapnya heran dengan alis sebelah kiri yang naik sebelah, perpustakaan?
“aku
sudah sebulan tidak tinggal bersama tante dan tinggal di perpustakaan sekolah.”
katanya santai.
Aku
menuju kamar tempat pakaian kotornya di letakkan. Aku perhatikan, tak ada
bagian yang robek. Disebelahnya ada tali yang juga sedikit terkena bercak
darah. Setelah agak lama melamun, sinar mentari pagi menembus jendela dan mengenai
wajahku. Dan akupun teringat. Darah… bercak darahnya.
Aku
melihat ke arah sayatan kecil pada pergelangan kaki gadis belia itu. Kami masih
belum tau apa hubungan dua oknum polisi yang mati dengan Bima, mungkin masalah
narkotika? Jika sampai ada oknum lain yang terlibat, ini akan terlalu beresiko.
Cepat atau lambat pasti akan di adakan investigasi, mereka akan mengetahui
bahwa Gadis belia ini dekat dengan Bima, saat mereka melihat luka kecil itu,
bisa jadi mereka akan mencari becak darah di lokasi kejadian dan mencocokannya.
Atau lebih parah lagi, oknum lain yang terlibat masalah dengan Bima akan
memburu gadis ini agar tak ada saksi yang bisa di mintai keterangan. Gawat.
“apakah
kau tak punya barang lain untuk di bawa?” kataku.
“dibawa?”
katanya bertanya heran.
Aku
melemparkan jaket tebal padanya dan memakai jaket pula. Mengambil sedikit
pakaian, arloji, penutup wajah, topi, dompet, handphone, laptop, charger. Dan
menggandeng tangannya menuju mobil (yang juga belum lunas kreditnya).
“kita
harus pergi sekarang. Sebelum ada yang menemukan mayat mereka.” Kataku singkat.
Kami
melaju ke utara. Jauh… Jauh sekali tanpa menoleh ke belakang.
Bersambung…
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.