CHAPTER
7. NAMANYA ADALAH…
Present day…16
Aku
gemetar memegang tangan gadis belia yang tertidur pulas di pelukanku. Kami
berada di belantaran hutan Aceh. Dengan api unggun kecil di depanku. Entah
tepatnya di mana akupun tak tau. Untunglah tiga hari ini tak mendung apalagi
hujan. Pakaian yang kami kenakan sudah lusuh dan bekal air hampir habis.
Seharian ini bahkan kami sudah tidak makan lagi kecuali buah apapun yang bisa
kami temui disepanjang rimbunnya pepohonan.
Setahun
lalu, setelah kejadian nahas yang disebabkan gadis yang aku peluk sekarang.
Kami berlari ke arah utara. Terus hingga ujung jalan dan tak ada daratan lagi.
hingga akhirnya kami sampai pada sebuah titik dengan pantai dan barisan pohon
yang indah. Kosong… pantai indah itu hampir tak memiliki pengunjung.
Kami mampir ke sebuah Desa kecil di kecamatan
Peureulak, Aceh Utara. Daerahnya masih asri dan orang-orangnya… cukup ramah.
Tidak ada turis dengan kutang dan g-string di sepanjang bibir pantai. Malahan
banyak berdiri Dayah atau sering kita sebut pesantren di sekitaran pantai dan
pedesaan. Daerah ini jauh sekali dari hiruk pikuk kota.
Dengan
sedikit susah payah dan kebohongan, kami mulai menetap dan membangun hidup
disana. Kami menjual mobil dengan surat sebelah, dan mendirikan rumah. Memakai
nama lain, dan hidup bertetangga dengan baik. Aku sempat menjadi nelayang untuk
beberapa saat. Sebelum akhirnya menemukan pekerjaan lain yang sesuai
kemampuanku, mengajar. Untuk setahun penuh, kami masih menjadi sepasang suami
istri dan merasakan surga.
Sampai
seminggu lalu. Tiga orang bersenjata akhirnya menemukan kami. Bukan polisi
sepertinya. Aku tak tau mengapa mereka bisa mencari kami segetol ini. Apakah
ada sesuatu yang mereka cari? Entahlah, karna aku tak bisa mencari tau atau
bernegosisasi. Mereka telah membunuh pak Fauzi, tetangga terdekat kami dan
sekalian keluarganya. Semua, tak ada yang bersisa.
Kami
kabur dengan sepeda motor hingga kehabisan bensin dan harus mencacah belantara
hutan. Sampai saat inipun, sepertinya mereka masih mengejar.
Aku
susun nafas dengan tenang. Aku memperhatikan sekeliling dengan seksama. Hari
mulai gelap dan nyamuk mulai merajalela. Kau tak akan tahan dengan puluhan
bahkan ratusan nyamuk yang menyedot darahmu sekaligus, maka api unggun adalah
sebuah keharusan. Namun api unggun sangat beresiko. Seseorang bisa saja
menemukan kami dari jauh.
Aku
perhatikan gadis belia yang seminggu lalu masih kusebut sebagai istri. Wajahnya
kotor. Namun tetap cantik. Ia mengenakan kemeja motif garis, kemejaku.. yang
tampak kebesaran namun membuatnya tampak seksi. Bawahannya celana cinos
panjang. di desa itu, wanita tak diperkenankan memakai jeans. pakaianya kumal
dan kakinya terlihat bengkak. Sudah berhari-hari kami menjajaki hutan tanpa
alas kaki. Rambut panjangnya terurai menutupi dahinya. Berantakan. Tapi tetap
saja, cantik. Kurasa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku.
Aku
melamun, apa yang akan kami lakukan jika kami bisa lolos dari situasi ini.
Mungkin, aku ingin hidup benar-benar terpisah dari dunia. Bagaimana jika hidup
di pesisir pantai lain yang benar-benar tidak berpenghuni. Atau mungkin, hidup
di tengah kota membangun keluarga. Toh terkadang keramaian adalah tempat
persembunyian paling sempurna. Kemana kami akan pergi, Jakarta? Surabaya?
Makassar? Tidak… jika ingin keramaian, mungkin kami harus pergi ke belahan
dunia lain. New york? Tokyo? Hahaha… aku mulai tertawa sendiri. Aku benar-benar
kehilangan akal sehat.
Gadisku
terbangun.
“aku
ingin buang air kecil” katanya.
Kemudian
ia berdiri dan mengambil mandau atau parang panjang yang kami gunakan untuk
membuka jalan beberapa hari ini menyusur hutan. Menghilang di tengah rerimbunan
gelap. Hari mulai malam. Dan aku menambahkan beberapa kayu bakar pada api di
depanku. Semilir angin malam terasa dingin. Berada di bawah pepohonan serindang
ini membuat kami harus memakai pakaian ekstra berlapis saat tidur. Untunglah
kami sempat membawanya.
Beberapa
menit berlalu, dia masih belum juga kembali. Apa yang terjadi? Aku mulai
berpikir yang tidak-tidak.
Benar
saja. Tak lama setelah itu aku mendengar suara keributan obrolan gerombolan
laki-laki yang pelan tapi pasti, mendekat ke arahku. Cepat kuambil sisa air
pada wadah minum kami dan menyiramkannya pada api. Padam. Kakiku mengacak-acak
bekas perapian agar asapnya tidak menggumpal dan memberikan tanda. Aku
menundukkan badan dan memosisikan diri tiarap di tanah.
Kupeluk
tas ransel kami dan kubenamkan tubuhku diantara semak-semak di bawah pohon
besar yang tadi kami jadikan sandaran tidur. Langkah-langkah kaki mulai
terdengar berjalan mendekat. Tiga orang lelaki berbadan besar di atas
rata-rata. Mungkin tingginya berkisar 185 sampai 190 cm. mereka semua sepantar
dan berbadan kekar. Apa ini, perawakan mereka seperti pasukan khusus. Bukan
polisi, apalagi preman.
Mereka
menyisir area sekitar api unggun menggunakan senter. Posisiku masih aman,
sepertinya mereka tak memperhatikan arahku. Salah seorang dari mereka memegang
bekas api unggun dan mengusap-usapnya menggunakan telapak tangan. Kemudian
memperhatikan sekitar. Aku manahan nafas, lalu mengeluarkannya selambat
mungkin. Menariknya lagi perlahan, lalu menahannya lagi.
Mengapa
hutan sepertinya berpihak pada mereka. Saat mereka mulai melihat-lihat area
sekeliling dengan seksama, suara jangkrik spontan berhenti seolah mereka pun
takut pada gerombolan orang ini.
Tiba-tiba
aku merasakan tengkuk leherku di cengkeram dari belakang. Mereka mendapatkanku…
salah seorang dari mereka mengangkat tubuhku ke udara bak mencekikku dari
belakang. Aku hanya terdiam walau agak terkejut. Mau apa lagi, apa yang bisa
kulakukan.
Diangkatnya
aku dengan posisi membelakanginya. Kakiku melayang di udara. Ransel di
pelukanku terlepas dan aku memegangi tangan yang menarik leherku, berusaha
mengurangi tegangan yang di rasakan tengkuk leher. Dua orang yang lain menoleh
dan melihat ke arahku. Mereka mengarahkan senter ke wajahku seperti mencari
tau. Tidak satupun dari mereka bicara.
Ceklek.
Aku merasakan sesuatu yang keras menekan bagian belakang kepalaku. Sepertinya
ia menekankan senjata api.
“dimana
perempuan itu anak muda?” akhirnya salah
seorang bicara, orang yang sedang
menodongkan pistolnya padaku.
Aku
diam saja. Entah apa yang bisa kulakukan di saat seperti itu. Dua orang lain di
hadapanku mulai mendekat dan berdiri berkecak pinggang memperhatikan. Salah
seorang dari mereka tersenyum geli. Dengan situasi yang mungkin di ujung
ajalku, anehnya bahkan jantungku pun tak berdegup terlalu kencang.
Orang
itu menekankan pistolnya lebih kencang, memintaku segera mengeluarkan suara.
Aku bisa merasakan mereka bertiga melihat ke arahku memperhatikan dengan
seksama. Lalu gerakan pelan di belakang kepalaku mengisyaratkan dia siap
menarik pelatuk senjata apinya. Perlahan… aku bisa mendengar suara gesekan
tangannya yang sebentar lagi akan meledakkan tengkorak kepalaku. Atau paling
tidak memberikan lubang yang cukup besar. Aku menarik nafas dalam-dalam.
Saat
aku mulai memejamkan mata dan siap merasakan kematian itu datang…
Crootttt..
hempasan keras terasa mengalir di belakangku. Aku terjatuh secara tiba-tiba
terlungkup di tanah. Baru saja ku buka wajahku menoleh ke arah dua orang di
hadapanku. Suara tembakan peluru menghujam ke pundak salah satu dari mereka.
“aaarrrrrhhhh” katanya menjerit memegang pundaknya yang sedikit terserempet
peluru.
“Jangan
bergerak!” suara lantang seorang perempuan dari belakang. Dua lelaki besar di
hadapanku mematung dan melihat penuh benci kepada perempuan itu. Gadisku.
Disana dia berdiri tegak, kemejanya yang kebesaran kembali di nodai bercak
darah, begitu juga punggungku. Aku melihat seorang yang mati seketika di
sebelahku, sebilah parang masih melekat di kepalanya, membelah sebagian otaknya
yang nyaris terlihat jelas.
“eeerrmmmmmhhhh”
salah seorang laki-laki menggeram kesakitan memegang pundaknya. Darah mengalir
menyelip melalui jari-jari besarnya.
Aku
cepat-cepat berdiri dan mengepakkan sisa tanah dan rumput di pakaianku. Mendekati
mayat di sebelahku dan mencabut parang yang melekat di kepalanya, ku gesek
kanan kiri sisi parang pada pakaian mayat itu dan membuatnya bersih kembali
dari bekas darah serta sebagian cairan yang mungkin saja otaknya.
Kami
berdiri berhadap-hadapan di tengah remang kegelapan rimba. Cahaya bulan yang
lumayan terang menerobos dahan-dahan dan menyajikan pemandangan yang indah.
Beberapa kunang-kunang juga beterbangan mengelilingi tempat kami berdiri.
Perlahan tapi pasti, area ini menjadi terang dengan wajah-wajah kami yang
terlihat jelas. Momen ini akan menjadi sangat romantis jika saja tak ada darah
disana-sini, juga mayat, juga senjata, juga empat orang yang berdiri bersitegang
satu sama lain.
“calm down, ok..”17 kata salah
seorang dari mereka. “we can talk about
this.”18 Lelaki itu maju mendekat dan tangannya mengarah ke
depan menandakan agar kami tenang. Wajahnya terlihat jelas kini, bejanggut
tebal. Warnanya kekuningan. Kulitnya putih seperti keturunan bule, tapi aku tau
dia masih warga pribumi. Aksennya.
Pria
yang satu lagi berdiri dengan masih mengikat bahunya dengan seuntai kain. dia
merobek lengan bajunya sendiri. Kulitnya
coklat menuju hitam, wajahnya mulus tanpa bulu dan rambutnya juga botak.
“jangan
bergerak!” sekali lagi gadis di sebelahku berteriak. “DOR!!!” Kemudian ia
menembakkan senjata ke udara. Dan mengacungkannya pada dua lelaki itu lagi. aku
pun mulai mengacungkan parang di genggamanku pada mereka.
Bukannya
takut, mereka berdua malah saling melihat satu sama lain dan tertawa.
Kemudian
mereka mengalihkan pandangan pada kami dan berkata… “matilah kalian sekarang.”
Secara perlahan dan mulai mendekat pada kami.
Gadis
di sebelahku mengecek sejata yang di pegangnya, dan kemudian mencoba menembak
ke arah mereka. “Cklek.. cklek” pelurunya sudah habis. Dia melotot dan melihat
ke arahku.
“Lari!”
kataku berteriak.
Ia
pun melemparkan senjata tadi dan berlari secepatnya menerobos remang rimba.
Menghilang di balik semak belukar.
Dua
lelaki berbadan besar tadi mencoba mengejarnya, namun belum sempat melewatiku
parang panjang melesat di hadapan mereka, salah langkah maka dada mereka robek
cukup dalam. Seorang yang botak dan bahunya terluka sudah berdiri tegak dan
mengambil sebilah pisau dari tas kecil di bagian paha celananya. Seorang yang
berjanggut tebal di hadapanku melihat ke arah gadis tadi berlari. Dan
memundurkan langkahnya sedikit.
“knock it off dude”19 kata
seorang yang botak sambil maju memainkan pisau miliknya. Cukup besar, pisau itu
bisa menyayat kulit babi sekalipun. “menyingkir atau ma…”
“swousssshhh”
aku ayunkan lagi parangku ke hadapannya. Jika ia bersikeras maju maka akan aku
kerahkan serangan tak beraturan yang sering aku tonton di televisi. Apapun itu. Aku hanya mengulur waktu selama mungkin.
Mungkin saat ini juga adalah saat terakhirku. Aku tak peduli.
Si
lelaki berjanggut menghembuskan nafas dan menggaruk dagunya yang penuh rambut.
Kemudian ia melihat kearah lelaki botak dan menggunakan isyarat mata. Aku masih
memperhatikan setiap gerak mereka untuk berjaga-jaga jika saja mereka melakukan
serangan dadakan.
Benar
saja, sepersekian detik setelahnya lelaki botak itu melemparkan pisaunya padaku.
Aku yang sangat fokus memperhatikan mereka bisa menghindarinya dengan melompat
ke samping. Pisaunya merancau saja dengan arah tak beraturan menuju semak
belukar, hilang.
Namun
ternyata pisau itu memang tak pernah dimaksudkan untuk mengenaiku.
Saat
aku fokus untuk menghindari lemparan pisau, lelaki berjanggut tadi juga
langsung melompat ke arahku. Tangan kirinya yang cukup panjang mampu menggapai
pergelangan tangan kananku yang memegang parang, tanganku sudah terkunci.
Tangan kirinya mencekik leherku dan sekali lagi, kakiku melayang tak menapak
tanah. Kali ini, jantungku berdegup amat kecang dan tubuhku kejang-kejang.
Tangan
kiriku mencoba memukul wajahnya sekuat tenaga. “bukkk!” keras sekali bunyinya.
Tapi hanya mampu menolehkan wajahnya ke samping. Yang ada dia makin garang dan
beringas. Di ayunkannya aku ke bawah, tanganku di hempaskan dengan tekukan
lututnya yang melayang ke atas. “ kreteekkk” aku bisa merasakan sedikit bagian
tulang lengan kananku patah.
“arrrrrrrrgggggghhhhhh”
kataku menjerit tertahan. Tangan kananku lemas dan melepaskan parang yang ku
pegang. Tak lama kemudian di ayunkan tubuhku sangat kencang, terpental dan
menghempas secara horizontal ke arah batang pohon besar tempat ku bersandar
beberapa saat lalu. Terjatuh kebawah meninggalkan suara keras ranting-ranting
kecil yang patah tertimpa badanku.
Kemudian
ia datang lagi dengan cepat, kaki besarnya menendang perutku. Sampai aku
memuntahkan air dengan jumlah yang sangat banyak. Aku tebatuk terbata-bata
merungkuk melingkarkan badanku menahan sakit di perut dan lengan kananku. Belum
habis aku membuang satu tarikan nafas, tangannya mencengkeram kerah bajuku,
mengangkatku sedikit menjadi posisi
berdiri beralaskan lutut. Aku masih mampu melihat ke arahnya.
Sesaat
kemudian dia berjongkok dengan tangan kirinya masih mencengkeram kerah bajuku,
tangan kanannya melayangkan tinju ke arah wajahku, aku berusaha menepis dengan
tangan kiri. Bukan tertepis, tangan kiriku kalah kuat dan ikut menghantam
membuat wajahku bonyok. Pelipis kiri di atas mataku sudah berlinang darah
segar. Tanganku lemas di kanan maupun di kiri. Mata kiriku bengkak tak dapat
melihat dengan jelas. Penglihatanku mulai kabur.. aku hampir jatuh pingsan.
Namun
sekali lagi hantaman kepal tinjunya yang besar menerpa wajahku, tanpa
perlindungan apapun. Tersentak ke belakang. Hidungku remuk. Darah mengalir
keluar dari balik kulit hidungku. Ditariknya lagi kerah bajuku ke depan, di
tinjunya lagi. dan sekali lagi..
Aku
terkulai lemas menghadap tanah. Tangan kiri lelaki berjenggot tebal itu masih
menahanku agar tidak jatuh ke tanah. Meremas daguku dan menatapku yang sudah
hampir hilang kesadaran.
“now what?”20 katanya. Sekali
lagi tinjunya menghantam. Kali ini perutku, lebih keras dari tendangannya yang
tadi. Aku bisa merasa bagai isi perutku ingin keluar semua. Darah segar muncrat
dari mulutku.
Aku
terkulai lemah. Tak mampu lagi melihat ke arah mereka. Terlungkup di tanah
lembab dan daun-daun kering. Wajahku mengarah ke samping. Pandanganku samar
melihat dedaunan yang kering… beberapa semut kecil melintas di hadapanku.
Cahaya kunang mulai memudar seperti melihat cahaya di tempat jauh. Pandanganku
perlahan menjadi gelap.
Aku
masih bisa merasakan nyeri pada perut, tangan, punggung, mata, dan hidungku.
Saat udara masuk melalui lubang hidungpun membuat nyerinya terasa. Bau
rerumputan dan daun kering perlahan memenuhi hidung, merasuk ke otakku.
Lembabnya tanah dan dinginya malam menjalar lewat kulitku. Semilir angin
menerpa rambutku. Perlahan… bunyi jangkrik terdengar kembali memenuhi malam.
Aneh… dalam keadaan yang sudah setengah sadar. Aku bisa mendengar suara-suara
nun jauh di sana. Tupai yang baru pulang ke rumah pohonnya. Burung Hantu yang
baru membuka matanya. Kadal yang berlari seliweran melintas kesana-kemari. Ular
yang melata pelan tapi pasti, melintas pohon melalui dahan, ranting demi
ranting. Kemudian suara itu. Suara derap kaki yang walaupun lelah dan
membengkak, tetap berlari, berlari sejauh mungkin menerpa dedaunan dan
duri-duri, menerpa dinginnya malam. Berkilo meter dari sini. Pergilah jauh…
larilah sejauh mungkin. Gadisku.
***
Saat
aku merasa nyawaku sudah di ujung tenggorokan.
“pyarrr”
aku terbangun!
Sakit
dan nyeri di hidung serta mata kiriku tearasa lagi. makin nyeri diterpa air
dingin di malam hari. Aku bernafas tersengal. Terbatuk-batuk. Sesaat lalu aku
berpikir telah mati. Darah segar di hidungku yang mengering mulai keluar lagi.
Bau anyir menjalar diterpa angin. Anyir darahku sendiri. Aku merasakan perutku
yang masih sakit, juga sekujur tubuhku yang lain.
Lengan
kananku sudah menunjukkan gejala bengkak dan membiru. Kedua tanganku diikat
seuntai tali dan dilingkarkan pada tiang kecil yang menjadi penyanggah tenda
tempat aku berada sekarang.
Dihadapanku,
terdapat seorang pria berkisar 40-an, yang duduk dikursi lipat dan sedikit
membungkuk ke arahku. Matanya sipit, tapi bukan cina, karna kulitnya sawo
matang sepertiku. Lebih seperti orang jepang. Rambutnya cepak dan sudah beruban
sebagian di daerah samping, atau entah itu hanya sebagai style saja.
“hey..
hey..” katanya menjentikkan jarinya di hadapanku. Aku memandangnya dengan
bingung.
“boy.. oh boy… apa yang sudah kau lakukan
anak muda. Kau pikir kau seorang pahlawan?” katanya lagi berkata santai sambil
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dekat sekali hingga aku bisa merasakan
hembusan nafasnya.
Aku
mundur sedikit bersiap kalau-kalau dia akan melayangkan pukulan seperti yang barusaja
kurasakan sebelum pingsan.
Kemudian
dia mundur lagi dengan posisi duduk normal.
“oke,
kita langsung saja. Dimana perempuan jalang itu” katanya mendekat lagi. kali
ini tangannya menjambak rambutku. Dijambakknya ke belakang sehingga
memposisikan aku yang mendongak ke atas. Diterpa silaunya lampu emergency
berbaterai yang di gantungkan di bagian atas tenda. Aku mengatur nafasku dan sedikit
menyipitkan mata.
“look man21, apapun yang kau
cari dari si Bima itu. Kami tak mengambilnya.” Kataku lirih. Tidak, aku tidak
selemas itu. Tapi aku harus mengirit tenaga yang ku pakai seminimal mungkin.
Kalau-kalau saja tuhan bebaik hati mengirimkan salah satu malaikatnya padaku
malam ini. aku masih bisa lolos dari situasi terburuk yang pernah ku alami
seumur hidupku.
“he?”
katanya heran. Wajahnya menunjukkan mimik bingung dan menoleh ke belakang.
Melihat kepada dua orang yang hampir menghabisi nyawaku tadi, si berewok dan si
botak. Mereka juga mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. Pertanda mereka
tak mengerti.
“gadis
itu…” lanjutku lagi “hanya berada di tempat dan waktu yang salah. Aku tak tau
apa yang kalian cari… dan apa hubungan kalian dengan Bima dan dua orang polisi
yang mati itu, tapi dia tidak berada disana untuk ikut campur. Dia hanya
korban.” Kataku meyakinkan mereka.
Pria
itu melihat ke arahku dengan tatapan curiga kemudian berkata… “oke, lanjutkan.”
Katanya.
“dia
di culik oleh Bima, mereka memang cukup dekat. Dia tidak tau bahwa Bima
memiliki urusan dengan polisi di sana. Yang dia lakukan hanyalah melarikan
diri, dan saat dia melarikan diri, dia tanpa sengaja membunuh Bima. Oh ya, dan
dua orang polisi itu… Bima yang membunuh mereka, dia tak melakukan apapun. Dia
bahkan tak mengetahui soal transaksi apapun yang sebenarnya kalian lakukan. Dia
hanya seorang gadis yang ketakutan dan melarikan diri.” Kataku sambil
terengah-engah.
Aku
tak mengharapkan mereka percaya dan begitusaja melepaskanku. Walau
bagaimanapun, tampaknya nyawaku sudah tekunci mati di tenda ini. atau di luar
sekitar tenda ini. Namun setidaknya, gadisku bisa terbebas dari kejaran mereka.
Karna yang kukatakan memang benar adanya.
Pria
itu kemudian berdiri sebentar dan memakai sarung tangan hitam. Lalu mengambil
sebilah pistol dari bagian belakang celananya. Kemudian duduk lagi, sambil
menggarukkan moncong pistol itu di area sekitar hidungnya. Dia, bersiap
menembakku.
“say boy…” katanya ringan. “who’s that girl’s name?” 22
“eh?”
Aku menoleh bingung…
“that girl you protect with your life.”23
Katanya mendekat lagi padaku. “what. Is.
Her. Name?”24
Aku
makin bingung dan berkata lirih.. “Li…”
“kau
pikir namanya Lisa?” katanya. “hahahahaha” dia tertawa terbahak-bahak “kalau
begini jelas kau tak berhuga buat kami”. Kemudian menoleh ke arah si berewok
dan si botak. Mereka juga ikut tertawa. Meninggalkan aku yang kebingungan
sendiri di antara mereka.
“aku
kasihan padamu nak. Kau tau… paling tidak kau akan mengetahui kebenaran sebelum
kau mati.” Dia menyilangkan kakinya dan membuat pose duduk santai. Meletakkan
dua tangannya yang masih memegang pistol di pangkuan. Dan mulai bercerita.
“gadis
yang kau lindungi itu, namanya bukan Lisa. Bukan juga Afifah… nama yang kalian
buat untuk dia gunakan setahun terakhir bukan?” dia tersenyum tipis.”kami tak
kenal siapa itu Bima. Kami tak punya urusan dengannya. Entah apa yang di
ceritakan jalang itu kepadamu. cuiihhhh” Katanya merasa sangat tidak senang dan
membuang liurnya dengan keras.
“dia…
adalah bagian dari kami. Dia adalah salah satu anggota organisasi kami yang
aktif beroperasi sejak dia masuk SMA tempatmu mengajar dulu. Ku beri tahu,
orang tuanya yang mati itu… bahkan bukan orang tua aslinya. Mereka hanya orang bayaran
yang tidak akur. Hahahaha…” dia membuang nafas sebentar. “tapi akhirnya kami
membunuh mereka karna mereka selalu membuat kebisingan dan membuat kami riskan
untuk di perhatikan.”
“dalam
kasus si Bumi atau siapalah anak yang kau sebutkan tadi… kau tau, harusnya dua
polisi itu menemui dia disana. Bukan anak yang mati itu, tapi menemui gadis
jalang itu disana untuk mengambil barang yang sudah kami titipkan padanya.
Sesuatu yang sangat berharga, untuk melancarkan bisnis kami di Palembang. Tapi
tebak apa… mereka semua mati.
“hahahaha…
menggelikan sekali, saat kau bilang dia hanya korban yang berada di empat dan
waktu yang salah. Lihatlah keadaanmu saat ini… aku rasa deskripsi itu lebih
tepat untukmu. Hahahaha” dia masih tertawa lantang.
Namun
aku sudah tidak memperhatikan. Bodohnya aku. Sejak awal aku mengenalnya di
perpustakaan waktu itu, aku sudah menyadari dia tampak jauh lebih dewasa untuk
ukuran gadis seusianya. Bukan… aku tak meragukan usianya. Tapi ketenangannya,
cara dia bertingkah… dia jelas seseorang yang memiliki pengalaman hidup jauh di
atas mereka yang biasanya seusia itu.
Aku
terlalu acuh… aku juga terlalu senang saat kisahnya bercampur dengan kisahku.
Merasakan petualangan yang mendebarkan. Memberikan kesan yang tak pernah bisa
aku lupakan, aku tidak memikirkan sedetikpun… kamungkinan bahwa mungkin semua
itu hanya sebuah kisah buatan. Suatu kebohongan yang di karang olehnya, dan
menjadi fantasi nyata untukku.
Bahkan
nama aslinyapun aku tak tau. kosong… aku benar-benar tak mengetahui apapun.
Pria
itu berdiri dan mengarahkan senjatanya kepadaku. Mengokangnya sekali dan
bersiap menarik pelatuk. Ia memandang kasihan kepadaku.
“say… old man.”25 Kataku
dengan tampang nanar. “what is her name?”
Dia
tersenyum tipis sambil meletakkan mocong pistolnya di jidatku.
“Namanya
adalah…”
“DOR!”
Bersambung...