Begitulah akhirnya… setelah itu, waktu
melenggang saja menuju esok, kemudian lusa, kemudian minggu setelahnya, bulan
setelahnya, tahun setelahnya. Higga hari ini, 7 tahun setelah aku terakhir kali
melihat wajah cantik itu. Usiaku sudah menginjak 24, tapi rindu itu masih saja
terasa.
Aku menjalani hari seperti biasa,
memang.. terus kuliah, bekerja. Tapi seperti jasadku saja yang bergerak
mengarungi waktu. Jiwaku tertinggal jauh di belakang. Temanku pergi satu per
satu, aku menjadi pendiam, pemuda tanpa ekspresi, menyimpan rasa sakit. Hingga
puncaknya tahun lalu, saat ayah ikut berpulang. Aku memutuskan pindah.. menjual
rumah, sedikit menyingkir ke kabupaten sebelah kota. Membeli ruko, membuka toko
kelontong.
Lantai 2 jadi hunianku. Hanya satu
ruangan… inilah tempat tidur, tempat makan, bersantai, atau apapun itu. Kecuali
buang hajat tentunya. Yang satu itu terpisah. Akhirnya semalam ini habis juga
ku ceritakan semua kisah. Mentari mulai mengintip di ujung kaki langit timur,
dan mataku sudah tak kuat menahan kantuk. Aku terlelap.
“nak bangun nak… sudah siang. Kau tidak
buka toko?”
“ayah, bagaimana bisa ayah di sini”
“hahaha, harusnya ayah yang bertanya
begitu, bagaimana bisa kau disini”
“maafkan aku ayah, aku tidak hidup
dengan baik”
“kau hidup dengan baik nak… kau
bertahan. Ayahlah yang harusnya meminta maaf, ayah tidak mampu bertahan.
Meninggalkanmu sendirian”
“ayah… kenapa aku lalai sekali”
“kau masih punya banyak waktu nak.
Perbaikilah..”
“tapi aku tidak punya semangat ayah.
Lihatlah aku, bagai mayat hidup”
“apa gerangan nak, kau bisa bercerita
pada ayah”
“aku pikir, aku telah melihat keajaiban
ayah. Begitu besar keajaiban itu. Jika aku ceritakan tak akan ada yang percaya.
Keajaiban itu benar-benar terasa nyata, dan terjadi begitu lama. Namun saat
telah membuatku senang sampai ke langit, ia menghilang… menghempaskan aku ke
bumi, ke dasar terdalam. Aku terpuruk ayah”
“tapi setiap hari adalah keajaiban nak.”
Suara ayah terasa jelas sekali di
telingaku, aku pun lancar saja menjawabnya. Namun mataku sudah tak kuat
bangun.. semuanya gelap.
“rama.. nak, ingatkah kau dengan anak
SMA yang setip hari beli rokok di tokomu. Setip hari dia datang dengan sepeda
motor kesayangannya. Ia bahkan memberi nama sepeda motornya, gerandong. Hahah…
sangar. Motor itu nak, sudah di modifikasi sekian kali. Kerangkanya di
orak-arik, joknya berganti, rodanya, lampunya, kaca spion, semuanya… satu per
satu tergantikan bahkan sampai ke mesin-mesinnya. Tapi, apakah motor itu tetap
gerandong kesayangan anak itu? Tentu saja iya.
“begitu pula dengan manusia nak… dalam
sehari, sudah berapa kali tubuh ini beregenerasi sel. Yang mati tergantikan
dengan yang baru, syaraf berganti, kulit berganti, jaringan otak berganti,
semuanya. Lalu apa yang membuat kau yakin bahwa kau yang sekarang adalah kau
yang kemarin? Apa nak?”
Aku terdiam sejenak. Kemudian dadaku
terasa di sentuh… tangan ayah mengusapnya. “ada yang menghubungkan kita nak.
Yang menghubungkan kita dengan hari kemarin, pun hari esok. Yang membuat kita
tetap menjadi orang yang sama seperti hari kemarin. Itulah keajaiban yang
sering kita lupakan. Keajaiban langit terjadi setiap saat, namun memang
terkadang kita meminta lebih, seolah langit berhutang keajaiban. Padahal tidak.
“rindu yang kau rasakan, sejatinya hanya
sebagian kecil keajaiban. Jadikan itu motivasi, bukan beban. Rindu itu
menghubungkan banyak tempat. Menyisir setiap jendela, menyusup di balik
semesta. ah ya… bicara soal rindu, ada yang sangat merindukanmu. Lihatlah…”
Aku menoleh ke samping, mataku terbuka.
Lihatlah.. ibu berdiri di sana, tersenyum.. membuka lebar tangannya. Membuatku
lari berhamburan… memeluknya. Erat.
“maafkan i..”
“tidak bu. Aku menyayangi ibu. Aku
sungguh menyayangi ibu. Aku ingin ibu peluk setiap hari… aku ingin makan
masakan ibu, aku ingin mencium tangan ibu sebelum ibu pergi. Aku ingin
ibu mengusap kepalaku. Aku… aku rindu Ibu…”
Ibu mengusap kepalaku. Aku tenggelam
dalam tangis.
“tersenyumlah nak. Karna setiap hari
adalah hari baru. Karna setip hari adalah keajaiban.”
Silau mentari membakar telingaku. Aku
tidur terduduk di depan jendela. Ku perhatikan sekeliling. Sepi saja. Itu hanya
mimpi. Aku tersenyum simpul… Ruangan
masih sama seperti tadi malam saat aku melamun hingga akhirnya tertidur
sendiri. Namun ada yang berbeda. Hari ini, mentari bersinar lebih cerah. Aku
bersiap. Memanaskan mobil pick up, menuju pasar besar belanja kebutuhan pokok.
Memulai hari baru.
Pasar masih terasa sesak walau matahari
sudah mulai meninggi. Aku bekerja sendiri pula. Rasa-rasanya sudah seperti kuli
sepagi ini. Membeli, menawar, mengangkut, memindahkan mobil, begitu lagi sampai
semua keperluan terpenuhi.
Tepat matahari membumbung di atas
kepala, aku putuskan untuk beristirahat di sebuah warung pinggir jalan. Selesai
sudah prosesi belanja hari ini. aku bersantai sambil makan siang. Sesaat
kemudian aku melihat ibu paruh baya melintas di hadapanku, posisi makanku
menghadap jalan.. jadi terlihat hilir mudik orang berlalu-lalang.
Ibu itu membawa belanjaan yang cukup
banyak. Sendirian.. agak tertatih mengingat usianya yang mungkin sudah di akhir
50-an. Aku bergegas menyudahi makanku, dan kemudian membantu ibu tersebut
membawa barang bawaannya ke angkutan umum.
Setahun berlalu, tidak banyak perubahan.
Kecuali toko kelontongku yang sudah bertransformasi menjadi lebih besar. Kini
toko-toko kecil di sekitar kampung membeli barang dagangan dari toko ku secara
grossir, untuk dijual kembali. Kamarku pindah ke lantai 3, lantai 2 ruko sudah
di jadikan gudang.
Setahun lagi berlalu, kini toko ku
berdiri di mana-mana, aku bahkan membuka 2 mini market di perkotaan. Membeli
rumah kecil di dekat toko lama ku berdiri. Aku begitu sibuk. Urusan toko dan
uang memang tidak pernah mudah. Tapi aku bisa mengatasinya. Aku juga
memperbaiki kehidupan sosialku. Minggu depan, aku punya rencana makan malam di
kota. Reuni bersama Nadira dan Daus yang kini telah menikah.
Seminggu berjalan cepat. Aku berpamitan
selesai bercakap banyak hal dengan Daus dan Nadira, mereka tampak sehat dan
sejahtera. Aku pun ikut bahagia. Tepat saat aku melintas salah satu jalan
protokol, aku kembali melihat ibu tua yang dulu pernah aku lihat berbelanja ke
pasar. Aku hentikan mobilku dan parkir sembarangan demi membantunya. Tak apa,
sudah malam.
Payah sekali kondisinya, membawa banyak
barang dan menyebrang jalan dengan sangat lambat. Aku putuskan untuk
mengantarnya ke rumah. Tidak jauh rupanya, ibu ini memiliki rumah di tengah
kota. Hanya untuk melihat rumah kecil dengan penghuni yang banyak. Ia
menawarkan masuk, aku ikut saja, demi keramah-tamahan.
“nak rama pulang ke mana malam-malam
begini nak?”
“saya tinggal di kabupaten sebelah bu,
sekitar 30 km dari sini”
“loh… apa ga bahaya malam-malam pulang
sendirian?”
“ga bu, insyaAllah aman” aku tersenyum
sambil meminum secangkir teh yang di hiangkan. “ibu sendiri dari mana malam-malam
begini?”
“oh, ibu dari terminal, mengantar anak
ibu yang habis berkunjung dari luar kota” beliau menjawab sambil meminum juga
teh miliknya.
“hmm bicara sial anak, keluarga ibu
ramai sekali. Hahaha”
Ibu itu tersenyum “ini belum separuhnya
nak. Total anak ibu yang ada di rumah sekitar 23 orang”
“dua puluh tiga?” aku tersedak.
“iya, dua lahir dari kandungan ibu, yang
lain dipertemukan takdir” ibu wijoyo agak tertawa melihat aku tersedak.
Ternyata itu panti asuhan. Ibu tua itu
adalah pengurusnya. dulu ia mengurus panti bersama suaminya. Tapi setelah
suaminya meninggal ia memutuskan berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu untuk
puluhan anak-anak kurang beruntung tersebut.
Beberapa menit lagi berbasa basi, lalu
aku bersiap pulang. Beliau mengantarku sampai ke pintu gerbang. Rumah panti ini
terlihat kecil dan agak kumuh. Mungkin aku bisa memberi sedikit bantuan.
“terimakasih sudah mengantarkan Ibu ya
nak..”
“iya bu, sama-sama. Terimakasih juga tehnya.
Oh ya, kalau boleh tau nama pantinya apa ya?”
“rumah bahagia keluarga Wijoyo” ibu Wijoyo
tersenyum seperti menanti pertanyaan baru.
“ibu… ibu Wijoyo?”
“ya. Ada apa nak Rama?”
“ah.. tidak apa-apa.” Aku bergegas masuk
ke mobil dan pulang. Sudah terlalu malam.
Hari berganti. Sepagi ini aku mencuci
mobil sambil melamun. Pikiranku agaknya mengenali nama tempat itu.. rumah bahagia keluarga Wijoyo. Karin… Karin pernah bercerita tentang Ibunya, yang sepertinya
memiliki karakter seperti bu Wijoyo. Namun namanya berbeda, dan jika memang
benar, seharusnya bu Wijoyo sudah berusia setidaknya 70 tahun. Namun aku yakin
bu wijoyo yang ku temui semalam berusia sekitar akhir 50-an, atau awal 60. Ahh..
aku singkirkan jauh-jauh lagi nama Karin. Sebelum itu kembali mengganggu
mood-ku.
Seminggu kemudian. Nyatanya masalah hati
ini memang susah di taklukkan. Apa salahnya bertanya. Siapa nama dua anak
perempuannya. Ia berkata anak sulungnya sudah menikah.. apakah Karin sudah
menikah? Apakah Karin si bungsu? Tapi terakhir kali Karin bicara padaku, dia
bilang akan menikah. Ahhh… tidak ingin mati penasaran. Aku memacu pedal gas
mobilku. Menuju rumah bahagia keluarga Wijoyo.
Lagi-lagi takdir mempermainkanku. Kosong..
rumah itu sudah kosong. Tetanga bilang mereka telah pindah beberapa hari yang
lalu. Dan sialnya, tak ada yang mengetahui kemana mereka pindah. Keluar kota? Ke
seberang jalan? Semua hal ini akan menghancurkan semangatku jika saja terjadi
beberapa tahun yang lalu. Namun tidak hari ini, semua keganjilan ini membuatku
semakin yakin. Semakin bersemangat. Karin… aku datang. Apapun takdirnya nanti. Aku
igin menemukanmu.
Berkata memang mudah. Tapi pencarianku
tak pernah berhasil. Aku tak pernah menemukan panti dengan nama “rumah bahagia keluarga wijoyo” dimanapun. Tidak sekalipun aku mendengar nama itu lagi. Seperti
raib di telan bumi. Pencarian lewat internet berlangsung sia-sia. Hanya tersedia
alamat dan foto-foto lama.
Setahun…
Dua tahun…
Tiga tahun…
Usiaku hampir 30. Masa-masa berlalu
cepat dan aku mungkin sudah melupakannya. Hari-hariku normal seperti biasa,
wajahku bertambah tua. Kalau saja Karin memang ada, usianya menginjak 32
sekarang. Kalau ia benar menikah waktu itu.. anaknya mungkin sudah lulus SD. Usahaku
mulai mandek di situ-situ saja. Terkadang aku mengunjungi pusara ayah dan juga
pusara ibu di luar kota. Aku tak merasa putus asa. Namun entah mengapa semangat
itu hilang lagi. Terkadang aku berdiam saja seperti batu. Berpikir bahwa ada atau tidak ada aku, dunia akan sama.
Perlahan… kesehatanku pun menurun drastis.
Entah bagaimana. Hari itu aku sudah
tergeletak di rumah sakit. Daus duduk di pojok ruangan, tertidur menungguiku
semalaman. Aku perhatikan sekitar ruangan yang lenggang. Selang infus masih
tersambung di pergelangan tangan kiri ku. Apakah semalam aku mabuk bersama
daus? Entahlah… aku berusaha bangun dari ranjangku, berjalan setapak-setapak
menahan sedikit sakit di perutku. Membuka pintu, keluar ruangan.
Hari masih pagi buta, mungkin pukul 5 atau
6 pagi, lorong menuju kamar-kamar pasien masih lenggang. Satu dua ada yang
tertidur di kursi atau lantai. Beberapa perawat sudah mondar-mandir. Tapi masih
leluasa untukku berjalan. Aku melangkah terus… membawa kaki ini sejauh apa
dapat melangkah. Tapi tiba-tiba kakiu terhenti di depan pintu sebuah
kamar pasien.
Aku beranikan membuka pintu. Semua orang
tertidur… ada enam ranjang di sana. Ranjang yang paling pojok, aku melihat sosok
tua itu. Wanita yang lemah tertidur di sana. Ibu wijoyo. Aku melangkah
perlahan, menjaga tangan kiriku yang masih tersambung dengan infus yang ku
bawa-bawa bersama tiangnya.
Lihatlah… bertahun aku mencarinya. Ia tertidur
lemah disini. Perlahan, Ibu wijoyo membuka matanya, dan tersenyum. Seolah mengetahui
bahwa aku akan berada di sana.
“nak rama”
“iya bu,” aku mengusap punggung
tangannya menahannya untuk tidak bangun.
“duh.. ibu sudah tua sekali ya”
Aku balas dengan tersenyum… tidak, ia
masih sama seperti yang aku lihat tiga tahun lalu. “ibu pindah kemana? waktu
itu… aku mencari Ibu kemana-mana, tapi tidak ketemu.”
“ibu pindah ke pinggir kota nak… mencari
hunian yang lebih layak.”
“pinggir kota?” jika masih di kota ini
kenapa aku sulit sekali menemukannya.
“nak Rama percaya pada takdir?” ia
bertanya, dan aku hanya menaikkan alisku tanda tak mengerti.
“rumah kami berubah nama nak. Wijoyo itu
nama almarhum suami ibu. sekarang pakai nama ibu sendiri.”
Aku memasang wajah pucat pasi. Menebak. Menerka..
sampai akhirnya terucap di mulutku. Aku menangis. Entah mengapa keluar saja air
mata ini. seolah mengakhiri kesenduan tiada akhir. Seolah membalas semua waktu
yang terbuang selama ini.
“apakah… nama ibu, Ibu Indah?” kataku
getir… kini ibu indah yang memasang mimik keheranan. Ia pasti bingung kenapa
aku menangis. Tapi dari ekspresi itu aku tau… benar. Dia adalah Ibu indah. Dan Karin
baru saja pulang sebentar untuk memasak sarapan di rumah.. mungkin nanti
sekitar pukul 7 ia akan kembali ke kamar ini. seingatku… begitu ceritanya.
Selanjutnya, kau tau…
Sore hari menjelang senja. Aku sudah
duduk di rumah baru mereka. Rumah bersama keluarga Indah. Yang ternyata adalah
bekas pabrik tua yang telah ditinggalkan lama sekali. Tempat aku dulu sering
datang dan bermain tongkat kayu tua. Mengintip sedikit kehidupan Karin.
Seorang gadis duduk di depanku. Berseberangan
meja ruang tamu. Ia hanya menunduk… sedikit malu. Rambutnya hitam panjang. Tubuhnya
tinggi dan usianya tampak masih di awal 20-an. Kemudian wajahnya perlahan
melihat ke arahku, bertatap muka. Saling adu mata kami untuk beberapa saat. Wajahnya
cantik… kami terdiam beberapa saat. Kemudian aku menangis… cantik sekali. Ia cantik
sekali. Hatiku menderu deru… Karin, kau cantik sekali.
Aku berusaha menjurulkan tanganku untuk
sekedar memperkenalkan diri secara benar. Mungkin saja ia sudah tidak
mengenaliku lagi. Tapi kemudian ia berlari, cepat. Masuk dan menuju ke belang
langsung.
Aku terhenyak sesaat. Sedikit sadar
sedikit tidak. Aku menyapu rambutku ke belakang… sudah beberapa menit sejak Karin
pergi. Aku ikut melangkah masuk. Ibu indah menatapku heran seolah bertanya apa
yang terjadi, namun tidak diucapkan karna melihat ekspresiku yang tidak kalah
bingungnya.
“dia sedang bersembunyi di ruang
rahasianya. Kau boleh ikut menyusul jika mau.. itu lorong belakang lewat dapur.”
“apakah tidak apa-apa?”
“pergilah… ibu tau kau menunggu cukup
lama untuk ini.” ibu indah berlalu dengan senyum khasnya. Yang begitu teduh.
Aku sudah berdiri di depan pintu, tempat
dimana 15 tahun lalu aku pertma kali merasakan perasaan ini. jantungku berdegup
kencang… tapi aku berusaha menenangkan diri. Perlahan, aku membuka pintu.
“rama, aku akan menikah” Karin berkata
lirih… namun tak ada siapa siapa disana. Karin pun seolah kebingungan. Wajahnya
yang sembab oleh tangis mendongak ke depan. Lalu kepalanya berputar menyisir
isi ruangan. Perlahan mengarah padaku. Pandangan kami kembali bertemu. Namun kali
ini aku tidak menangis. Aku tersenyum lebar.
“apakah itu berarti kau bersedia?” aku
bertanya.
Alih-alih menjawab, Karin langsung
berhambur ke arahku. Memeluk erat.
“itu kata-kata yang indah… aku akan
menikah, denganmu. Rama…” Karin memelukku makin erat. Kepalanya terbenam di
dadaku. Aku mengusap punggungnya perlahan. Memeluknya lembut. Sejujurnya aku
pun punya banyak pertanyaan. Tapi itu tidak penting lagi. Aku menemukanmu. Karin.
TAMAT.