Karin meletakkan mangkuk bubur yang di
bawanya ke meja. Kemudian duduk di sebelah ranjang. Menatap wanita tua yang
tergeletak disana. Masih pulas dalam tidurnya. Sejak malam Karin harus menetap
di kamar pasien rumah sakit umum kota ini, agak jauh dari panti. Pagi pulang
mandi, memastikan anak-anak sarapan, lalu berangkat lagi. Jadilah waktunya
tersita dan tak sempat memainkan kayu tua itu. Jelangkung.. yang tiga tahun
belakangan menjadi alasannya untuk berbahagia menjamu senja.
Sejenak matanya melirik keluar jendela.
Ada begitu banyak memori yang telah Karin lalui bersama Rama. Memang hanya
sebatas cerita namun semenjak kejadian menyedihkan setahun lalu membuat
cerita-cerita mereka lebih mendalam. Lebih terasa seolah mereka benar-benar
terhubung dan saling mengenal. Padahal tidak.
“Karin… kok melamun nak” Ibu Indah sudah
bangun dan memegang lembut punggung telapak tangan Karin.
“Ibu sudah bangun? sini Karin bantu
sarapan bu..” Karin membenahi posisi bantal Ibu Indah, membantu Ibu Indah untuk
duduk di tepi atas dipan bersandarkan bantal.
“bagaimana kabar anak-anak di rumah?”
“baik bu, kan baru semalam di tinggal.
Ibu tidak usah terlalu memikirkan rumah, kan ada Karin. Yang penting sekarang
Ibu harus banyak makan dan istirahat.. biar cepat sembuh.” Karin bertutur
sambil menyuap sesendok bubur.
Ibu indah tersenyum simpul sembari
membelai rambut hitam panjang Karin. Mengusap kepalanya dan kemudian sedikit
mengusap pipinya juga. Payah ia menelan bubur itu, memang sudah tua dan giginya
juga tak utuh lagi, sebagian ada yang sudah rontok. Matanya yang dulu begitu
berbinar mulai padam dimakan usia. Berapa? Saat itu… terbilang 62.
Dua anak bu Indah perempuan. Semuanya
sudah berumah tangga dan tinggal di kota lain. Yang bungsu usianya terpaut 4
tahun lebih tua di bandingkan Karin. Baru menikah tahun lalu. Tidak satupun di
antara mereka datang menjenguk. Bukan karna tak sayang, tapi bu Indah tak mau
merepotkan. Ia sudah punya Karin disini. Anak bungsunya.
Bu indah tidak sakit parah, hanya memang
bawaan usia tua. Dua hari beristirahat dan ia sudah di perbolehkan pulang.
Namun begitu Ibu Indah tidak sekuat dulu. Kini pekerjaan rumah kebanyakan di
ambil alih oleh Karin. Belanja, memasak… mengurus anak-anak yang masih belum bersekolah
dan lain-lain. Kini Ibu Indah hanya membantu saja sebisanya. Mengingatkan Karin
kalau-kalau ada yang terlupa.
Hari itu, Karin genap berusia 20. Ada
perayaan kecil bersama Rama. Ia membuat kue untuk Karin, dengan tangannya
sendiri. Mereka bercakap santai dan mesra. Beberapa bulan terakhir mereka
memang sudah sering menyinggung masalah perasaan. Maklum, Karin belum pernah
memiliki pacar karna ia memang tidak memiliki banyak teman. Pun Rama yang baru
berusia 17, masa pubertasnya dihabiskan dengan angan-angan tentang Karin,
bagaimanalah dia mau melirik perempuan lain.
Akhir pertemuan hari itu, ujung-ujungnya
Rama juga yang memakan kuenya sendiri. Apa daya Karin tak mampu bahkan untuk
sekedar menyentuhnya. Namun ia melihatnya. Dan walau tak mengecap, manisnya
sudah terasa. Sepotong kue, sejuta rasa.
Senja hilang berganti malam.. kota
gemerlap. Pertemuan kecil mereka lagi-lagi terhenti malam itu. Tak apa, masih
ada malam-malam selanjutnya, pikir Karin. Namun yang ia tak tau adalah malam
itu malam diamana Ibu Indah meminta permintaan yang sulit sekali di tolak.
Malam hari saat semua anak-anak sudah tertidur pulas, Karin melangkah masuk ke
ruang tengah. Ibu indah menunggu duduk di di atas sofa. Ada sepotong kue di
tangannya. Malam itu Karin merayakan hari ulang tahunnya. Lagi.
Sesaat setelah Karin meniup lilin,
memanjatkan doa dan sedikit bercanda dengan nada yang menyenangkan. Ibu indah
menatap Karin dengan tatapan yang lembut seperti biasa, namun kali ini terlihat
serius.
“Karin… tidak terasa sekarang Karin
sudah dewasa sekali. Rasanya baru kemarin Ibu menggendong bayi mungil yang
lucu.” Ibu Indah mengusap pipi Karin. Takjub betapa cantiknya anak gadis yang
dibesarkannya. Karin pun tersenyum manja memeluk bu Indah.
“Ibu sudah tua nak… terlalu tua malah.
Karin tau kan, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, Ibu akan meninggalkan
Karin, meninggalkan adik-adik, meninggalkan rumah kita. Mbak Rina dan Mbak Rita
sudah menikah. Dulu… ibu harap mereka bisa meneruskan mengurus adik-adik, tapi
ya namanya jodoh kalo datang tidak boleh di haling-halangi. Beberapa kali ibu
sudah bicara mengenai ini, tapi sepertinya suami mereka belum mengijinkan.
Maafkan ibu Karin… hari ini harusnya ibu memberikan hadiah, tapi ibu takut
waktunya tidak keburu lagi. Jika suatu saat ibu tiba-tiba…”
“jangan bilang yang tidak-tidak bu”
Karin memotong. Karin menggenggam tangan ibunya. “Karin masih ingin sama-sama
Ibu, adik-adik juga masih ingin sama-sama ibu. Kami semua sayang ibu.” Karin
mulai sedikit mewek.
ibu Indah tersenyum dan balik
menggenggam tangan Karin. “ibu juga sayang sama kalian. Kalian adalah hidup
ibu. Harta paling berharga yang pernah ibu miliki.” Ibu indah kemudian memotong
sepotong kue dan mulai menyuapi Karin. “aaaa” katanya.
“tapi… Karin sudah dewasa, mau tak mau
kita juga harus membicarakan ini. Karin… seandainya nanti tiba-tiba Tuhan
berbaik hati memanggil Ibu saat ibu sedang tertidur, maukah Karin… menggantikan
ibu mengurus adik-adik? Menerima mereka yang membutuhkan tempat pulang? Menjadi
payung saat hujan menerpa keluarga kita. Maukah?” Ibu indah mengusap air mata
yang mulai keluar mengalir di pipi Karin. “ibu tidak memaksa, kalau memang
Karin tidak berkenan.. biar yayasan kita alihkan ke Panti lain. Nanti..”
“Karin mau bu.” Karin memotong lagi.
“tapi ibu juga harus hidup sehat. Ibu harus hidup lama. Karin masih ingin
sama-sama ibu. Siapa nanti yang mengajarkan Karin masak, yang menceritakan
dongeng ke adik-adik. Siapa yang nanti…”
Plak.. bu Indah menepak pelipis Karin
pelan. “motong terus siih.. ibu belum selesai bicaranya” sambil melotot lucu.
Karin menaikkan kedua alisnya heran.
Tadinya ia kira ini menjadi momen yang sedih.
“maksud ibu… kan Karin mau melanjutkan
jadi Ibu di rumah kita. Jadi Ibu bukan berarti hanya mengurus makan, belanja
kebutuhan dapur, mengganti popok, dan bercerita dongeng sebelum tidur. Karna
Karin juga tumbuh menjadi wanita nak… Karin nanti juga harus bisa membagi
waktu.
Karin masih memiringkan kepalanya ke
kanan dan kiri. Tidak mengerti.
“giniloh… Karin nanti akan menikah kan?”
Ibu Indah akhirnya to the point juga.
“menikah? Masi lama lah bu”
“iya… tapi kalo mau jadi Ibu panti,
susah cari lelaki yang mau di bagi waktunya. Belum lagi kalo harus bantu cari
dana dari donatur.”
Karin menatap curiga mulai tau arah pembicaraan
ini
“Ibu punya calon. Tidak kaya, tapi dia
mau ikut mengurus panti. Orangnya baik dan penuh pengertian. Usianya memang
sudah tidak terlalu muda. Tapi menurut ibu, sudah pas buat jadi teman hidup
yang baik. Karin tidak harus jawab sekarang, tidak harus menerima atau menolak
sekarang. Tapi mau ya, ketemu dulu. Sekaliiii saja. Mau ya?” kedua tangan Ibu
indah mengusap kepala Karin di bagian kanan dan kiri. Memandang anak gadisnya
yang cantik penuh harap.
Ragu memang… tapi Karin mengangguk saja.
Ia tau, bu Indah tidak pernah membuat keputusan yang buruk. Ini juga, pasti
demi kebaikkannya. Tapi Rama...
Senja-senja selanjutnya berlangsung
canggung bagi Karin. Walau Rama tak dapat melihatnya. Namun hati Karin selalu
bergetar di terpa ombak. Haruskah ia beritahu? Pertemuan singkat mereka terasa
makin singkat. Betapa langit tega, membiarkan dua insan saling mengintip, dan
kini menyisakan jalan tanpa ujung. Mau di bawa kemana perasaan mereka.
Sore hari itu. Seorang lelaki duduk di
sofa ruang tamu menghadap pintu ke arah luar. Berhadap-hadapan dengan Ibu Indah
yang duduk menghadap ke ruang tengah. Karin menunggu di ruang tengah. Hari ini…
adalah hari pertemuan yang di janjikan. Ibu Indah ingin Karin beramah tamah
sepatah dua patah kata.
“Karin… sini nak” panggil Ibu indah.
Karin berjalan malu-malu ke ruang depan.
Ia hanya duduk tertunduk tanpa berani bertatap langsung dengan lelaki itu.
Celakanya, Ibu indah pamit sebentar mengangkat telpon. Tinggallah mereka berdua
dalam ruangan yang tiba-tiba terasa begitu luas. Karin mencoba menatap ke atas.
Terlihat dari mulai bagian tangan lelaki di depannya. Sepertinya lelaki itu
tegang sekali.
Terus… pandangan Karin terus menyisir
menuju kemeja lelaki tersebut. Kemuadian naik lagi menuju lehernya dan
wajahnya. Tepat berhenti pada matanya. Kali ini mereka saling pandang. Mereka
berdua sama-sama membisu. Muka Karin memerah berselimut malu. Kemudian
memalingkan muka. Kepala Karin boleh saja menoleh kesana kemari, tapi matanya…
masih sering mencuri pandang.
Lelaki di depannya seolah mengerti dan
ingin menakhiri ke-kikkuk-an Karin. Maka
ia hendak menjulurkan tangannya. Mungkin memperkenalkan diri. Namun Karin
terlanjur malu. Beberapa detik kemudian Karin meluncur saja berlari menuju
ruang tengah. Terus berlari melewati bu Indah, lorong kamarnya, dapur, dan
masuk ke ruangan itu. Tempat persembunyiannya. Hari itu tepat sekali saat
senja.
Karin tak sabar menunggu saat itu. Ia
ingin segera menceritakan kepada rama. Ia ingin bertemu. Isi otaknya saat itu
hanya di hiasi satu nama. Jantungnya berdegup kencang. Tak kuasa menahan nafas
yang terus saja tersendat. Ia bernafas terlalu cepat.
Hari itu… adalah hari yang penuh
kejutan. Sesaat sebelum Karin ingin menceritakan perasaannya. Rama lebih dulu
mengungkapkan apa yang sudah lama ia pendam. Remaja tanggung itu mengungkapkan
kata-kata yang indah, sebuah kejujuran yang manis. Membawa setangkai melati dan
berkata mantap, yakin, dan begitu berat. Karin terenyuh. Hatinya tersentuh… tak
kuasa ia menahan tangis.
Tangannya sudah tak mampu menggenggam
kayu tua. Karin hanya menangis mendapati dadanya yang penuh. Bersyukur ia
mendapatkan waktu-waktu berharga bersama Rama. Bersyukur ia memiliki tempat
berbagi hingga saat ini. Membuat ia yakin bahwa ia tidak gila. Kemuadian
membuat Karin mampu menjalani hari-hari selayaknya gadis normal. Ia bahagia,
langit membiarkan mereka saling mengintip. Karin benar-benar berterima kasih.
Isaknya mulai terasa menyesakkan, maka
Karin membaringkan tubuhnya ke depan. Menundukkan kepalanya dan merebahkan ke
bahu Rama. Terasa nyaman… terasa… ia dapat merasakan bahu Rama.
Karin tersadar dan menoleh ke atas.
Hilang. Kosong. Ruangan itu kembali kosong.
Hari itu… adalah hari terakhir Karin
melihat bayang-bayang.
Bersambung…
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.