*Cerita ini hanya
fiktif dan rekayasa. Jika ada kesamaan nama dan tempat kejadian, dapat dijamin
hanya merupakan kebetulan. Selamat menikmati.
SASTRA
Masih kupelototi baris
demi baris tulisan kisah ini. Cukup sendu dan memukau saat benar dalam
kuhayati. Kata-katanya bagai melompat menari dimataku, menceritakan setiap
detil isi penyampaian penulis. Tak habis kagumku, sabab Ia yang menulis ini
mampu menyelesaikan dengan semua kata indah dalam basis cerita dramatikal
komplit satu buku. Luar biasa!
Dari itu muncul semua
rasa keinginanku untuk lagi dan lagi membaca buku lain dan lain lagi. Bagai
candu yang telah menyekapku, aku ingin baca lagi. Sebuah rasa yang dalam
tercipta akan gabungan kata-kata yang bahkan sulit kubayangkan untuk
membuatnya. Ini adalah seni, aku bahkan merasa terhormat untuk mengaguminya.
Kekaguman itu bisa
tumbuh dan menjalar. Kini bukan hanya novel, aku mulai membaca cerpen, puisi,
pantun, bahkan menonton film. Dalam diam kekaguman ini kupendam. Manakala
sesuatu yang buruk akan terjadi jika seseorang mengetahuinya. Manakala aku
harus melupakan ini kalau mereka sampai tau. Manakala aku akan merasa
sendiri jika aku harus hidup tanpa ini.
Manakala aku akan menemukan pilihan yang sulit lalu berputus asa. Aku tak mau.
Tok.. tok.. tok.. terdengar
pintu kamarku diketuk beberapa kali sampai aku tersadar dan segera mengalihkan
pandanganku. Secepat kilat kututup buku ini dan kusimpan di dalam laci, dibawah
buku yang lain. Segera aku memutar kursi dan menghadap kearah pintu, sambil
memegang koran dan memasang muka manis plus senyum.
Seorang pembantu masuk
dan meletakkan beberapa helai roti dan selai coklat diatas mejaku. Ijah
namanya. Ijah ini sebenarnya hanya terpaut beberapa tahun dariku, tapi karena
dia miskin dan tidak merawat dirinya dengan baik, maka ia terlihat sedikit tua.
Tak seperti halnya aku yang terlihat bagai pengusaha congkak yang meluluri muka
mereka dengan lumpur setiap harinya.
Namaku adalah Tomi.
Anak pengusaha yang dulu pernah masuk sepuluh besar urutan orang terkaya di
Indonesia. Tidak demikian saat ini,
semenjak ayahku sakit keras dan mengurangi perhatian terhadap perusahaan
makanan kering miliknya itu. Namun hal itu tidak berarti baik bagiku, karna
sejak setahun yang lalu dia mulai dengan sangat intensif mengurus proses regenerasi
pimpinan perusahaannya. Aku.
Bukan menyombongkan
diri, tapi aku benar-benar anak yang pintar. Tidak pernah mengulang dalam mata
kuliah apapun. Memasuki Universitas Indonesia jurusan management pada umur 16
tahun, dan sekarang berumur 18 tahun. Aku berjanji untuk lulus sebelum berumur
20 tahun dan mendapat IPK diatas 3,8.
Hari libur memang
terasa sangat cepat walau harus kuhabiskan seharian dirumah, maka tanpa terasa
saat ini mentari telah menyusup kembali pada kegelapan. Lagi. Ada yang beda
dari rutinitasku hari ini, entah mengapa papan catur yang seharian terletak
diatas meja teras ini serasa memanggilku untuk dekat, duduk, dan menyentuhnya.
Sebentar saja
kuutak-atik anak dan papan catir ini, sebelum ayahku datang dan mengajukan
ajakan duel. Pembicaraan ayah dan anak remaja seharusnya adalah hal lucu atau
beberapa dorongan motivas, tapi aku sama sekali bukan tipe anak yang
membutuhkan hal itu. Pembicaraan kami adalah masalah.
Ayah : bagaimana kuliahmu?
Aku : baik.
Ayah : jangan terpengaruh dunia luar, kita semua
memiliki nasib yang berbeda-beda. (memindahkan anak catur)
Aku : baiklah... (memakan anak caturnya)
Ayah : ada ribuan orang yang menggantungkan
hidupnya pada keputusan kita, dan ayah membutuhkan seorang jenius untuk menjaga
agar keputusan yang keluar selalu tepat. Jadi jangan sampai salah mengambil
keputusan.
Aku : aku tau apa yang kulakukan. (memakan anak
caturnya lagi)
Ayah : benarkah? (menggeser sedikit anak
caturnya). Skak mat!
Ia berlalu dengan
angkuhnya. Entah aku atau dia yang angkuh, aku selalu memandangnya sebagai
‘police line’. Hal yang jelas tidak aku sukai. Beberapa kali kucoba untuk
tersenyum atau bahkan mengajukan beberapa kata candaan, tapi ia membuatku
sangat campah dengan mengatakan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dilalui
tanpa berfikir. Mana ada orang yang berfikir saat mereka tertawa.
*****
Aku berjalan menyusuri
trotoar, mempercepat langkahku. Tak kupercaya orang tuaku tak seorangpun datang
untuk menyaksikan anaknya dilantik sebagai sarjana lulusan terbaik taun ini.
Seberapa besarpun rasa angkuh dalam diriku, aku tetap menginginkannya. Bukan,
tapi aku sangat-sangat menginginkan mereka ada disana dan memberikan sekali
saja, senyuman mahal itu padaku.
Bruk... aku menabrak
seorang wanita yang sepertinya juga sedang terburu-buru. Maaf katanya sambil
berlalu. Aku menundukkan kepala dan juga akan berlalu. Kejadiannya terjadi
begitu cepat, dan menimbulkan beberapa prasangka. Aku merogoh kantong celana
bagian belakangku yang ‘telah’ kosong.
Langsung aku berbalik dan
berlari mengekar wanita itu. Tas ini berat sekali hingga aku begitu sulit
mengejar seorang wanita. Rasanya ingin aku berteriak, tapi tak mungkin aku
setega itu melihat seorang wanita dikeroyok massa karna mencopet sedikit uang
dari dompetku, yang hanya menurutku saja berharga.
Hilang, dia hilang..
sial. Bukan hanya uang, tapi surat kendaraan dan alamat suatu penerbit yang tak
akan bisa kau temukan diinternet. Ada di dompet itu. Juga beberapa judul buku
yang akan kupesan dari lur negri. Beberapa judul film yang akan kutonton. Dan
secarik puisi.
Diambang kekesalan, aku
masih saja berjalan diareal yang aku tak tau jelas tempat apa ini. Sambil
menghela nafas panjang dan mengucap sedikit doa, aku melihat wanita tadi
berjalan keluar dari sebuah warteg dengan membawa bungkusan. Baru saja aku
berencana menangkapnya diam-diam, dia malah menoleh kearahku.
Lagi, lagi dan lagi
kami berlari. Entah letih atau tidak wanita itu, aku merasa sangat letih.
Hampir saja aku memutuskan untuk berhenti sebelum kulihat dia memasuki sebuah
kotak di tempat perumahan kumuh. Tidak, aku tak berhenti. Kupercepat langkahku
menuju tempat itu.
Aku menerobos masuk dan
menunjukkan wajah bagai ingin membunuh siapa saja. Namun segera pudar saat
kulihat wanita tadi terduduk bersama dua orang anak laki-laki kecil dekil kurus yang
sedang menikmati hidangan nasi bungkus mereka. Tempat ini terlihat seperti
hunian, ada banyak buku dimana-mana. Dan.. aku tau jenis buku apa saja itu.
Sesuatu yang sepertinya aku suka. Sangat suka.
Wanita itu menatapku
dengan mata yang berkaca-kaca. Gurat- gurat letih terlihat di wajahnya. Bukann
letih karena adegan kejar-kejaran denganku, seprtinya sudah terpatri begitu
lama. Ia cukup cantik untuk ukuran seorang gadis. Wajahnya benar- benar memelas
padaku, seperti memohon untuk tak mengatakan apa-apa dihadapan kedua bocah yang
sedang lahap ini.
Aku mulai berjalan
mendekat pada mereka bertiga dan bersiap mengatakan sesuatu, wanita itu tampak
panik dan menggeleng-gelengkan kepalanya padaku. Mungkin dia takut aku
mengatakan dia mencopet dihadapan adik-adiknya. Ya, ungkin itu adik-adiknya.
Kemudian aku berada sangat dengat dengannya.
Aku tersenyum dan
mengulurkan tanganku. Kami berkenalan. Namanya Rika, dan kedua anak kecil itu
Riki, dan Riko. Tanpa harus bertanya, tentu saja mereka bersaudara. Aku
mengambil dompetku diluar tempat itu, diluar penglihatan Riki dan Riko. Terjadi
percakapan singkat yang cukup menyenangkan antara aku dan Rika.
Aku : kau suka sastra? Sejak kapan?
Rika : ya, sejak kecil.. (tersenyum)
Aku : ambillah... (memberikan sejumlah uang dan
alamat)
Rika : apa ini?
Aku : jangan mencuri lagi, tulislah sesuatu dan
kirimkan.
Rika : kau punya alamat ini, apa kau juga suka
sastra?
Aku : ya, tapi aku akan melanjutkan usaha
ayahku. Kau tau, cita-cita yang wajib menurun.
Rika : sayang sekali, aku akan sangat senang
untuk memilih jika jadi kau. Kau tau, segala sesuatu akan berjalan baik dengan
komunikasi yang baik.
Aku sedikit terdiam,
gadis ini seperti mengerti dalam kondisi
apa aku sekarang. Aku dan ayahku memang terlihat seprti pasangan anak-ayah yang
harmonis, tak pernah bertengkar sekalipun. Namun tak sedetikpun aku berhenti
waspada akan apa yang ingin diucapkan oleh ayahku. Ini semakin terasa seperti
perang dingin.
Hari ini, hari dimana
aku menjadi orang terbaik dimana aku berada. Ia benar-benar membuatku merasa
kalah. Aku menghadapi semua ucapan selamat itu sendiri. Dan tak ada suka cita
dalam sebuah keberhasilan yang seharusya terlihat sangat besar. Percakapan
dengan Rika ini, membuatku makin merasa bahwa aku mempunyai pilihan yang
seharusnya mudah.
*****
Sudah satu jam aku
duduk di halte pemberhentian busway, tapi tak kunjung naik. Apa yang harus
kulakukan sesampainya di rumah nanti? Mungkin ini adalah hari terakhir aku bisa
bersuara. Kulihat lagi dua buku yang ada dalam tas besarku. Bukan buku ilmiah
atau pelajaran, ini hanya sebuah novel dan majalah sastra. Ayo tomi! Fikirkan
sesuatu yang bisa menghentakkan ayah dan menyadarkannya. Menyadarkannya bahwa
aku adalah anaknya yang seharusnya juga memiliki pilihan seperti anak-anak
lain. Aku juga punya hal yang ku suka dan tidak. Aku juga memiliki cita-cita.
Kali ini aku
benar-benar menyiapkan diri untuk
memulai perang terbuka dengan ayah. Hari ini atau tidak sama sekali. Kubulatkan
tekat dan mulai melangkah masuk ke dalam busway. Segala sesak dan bising tak
terasa lagi. Fikiranku saat ini sudah berada dirumah, dihadapan ayahku menatap
matanya. Ingat Tomi, komunikasikan dengan baik.
Aku berjalan dengan
penuh kepastian menuju rumah itu, rumahku. Agaknya terlihat sedikit ramai, ada
setidaknya 10 mobil yang di parkir dihalaman depan. Ada apa ini, pesta penyambutankah? Tidak mungkin. Satu yang aku rasakan saat ini. Sangat-sangat
tidak nyaman.
Aku berlari masuk dan
semua orang melihat kearahku, mereka semua bertampang sedih. Ini tidak baik.
Aku berjalan lebih kedalam dan mendapat banyak pelukan, dari Ibu, adik-adik,
hingga semua sanak saudara. Mereka semua disini. Ada apa ini?
Hampir lepas jantungku.
Menangispun aku tak mampu, kulihat wajah angkuh itu dibalut kain putih. Lubang
hidungnya disumbat kapas, dan benar-benar pucat. Kenapa? Kenapa ia terlihat tak
berdaya? Dimana police line itu. Aku ingin memutuskannya. Jangan menjadi tak
berdaya dihadapanku. Kau yang membuatku berjuang dijalan yang tak kusuka sampai
saat ini. Sekarang aku siap melawanmu ayo bangun! Bangun! Banguuuuuuuuuunnn!!!
Suasana sudah sepi.
Semua sunyi setelah seminggu berlalu. Aku masih merasa hampa, bagaimana bisa
sebuah cerita berjalan tanpa seorang antagonis didalamnya? Aku bahkan tak
merasa menjadi bagian dari cerita apapun saat ini. Hey.. aku bebas saat ini,
bukankah seharusnya aku senang. Mari menulis sesuatu, atau membuat film. Ayo
lakukan sesuatu yang aku suka, yang sangat aku sukai. Semua ini menjadi tidak menyenangkan.
Aku melihat beberapa
kertas tunggakan tagihan bank diatas meja. Para investor mulai menarik modal
mereka. Perusahaan ini akan segera pailit jika tak segera menunjukan
peningkatan keuntungan yang signifikan. Ini bukan masalah kesenangan lagi, ini
bukan masalah meyakinkan, atau mengalahkan pendapat ayah. Sebenarnya dari awal
aku bebas memilih apapun. Semua ini memang sudah hidup dalam diriku sejak lama.
Aku bisa saja mengejar
mimpiku sekarang, tapi untuk apa kemudian? Ada berapa mimpi yang kuhancurkan
jika perusahaan ini bangkrut? Akan bertambah berapa banyak Rika, Riki, dan Riko
di dunia ini karna keegoisanku. Masih bisakah aku bahagia sesudahnya? Akankah
mereka bahagia jika hanya melihat orang sepertiku tersenyum nanti? Tapi,
bisakah aku bahagia dengan melihat ribuan orang tersenyum untukku, nantinya?
*****
Baiklah
Ayah. Mari berbisnis!
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.