Semua
orang memiliki keraguan. Beberapa menyangkalnya, beberapa terlalu
melebihkannya, namun… semua orang punya. Ada yang mengabaikannya, menjaga
hatinya pada semua yang pasti. Ada yang menantangnya, memasuki pertempuran
dalam sebuah pencarian kepastian. Memastikan ia hilang selamanya, dan
menjadikan keyakinan itu lebih kuat dari sebelumnya.
Rio,
ragu untuk saat ini. ia sudah berulang kali menahan sore dengan perut
keroncongan. Tak tertahan pula bagaimana letihnya perjalanan pulang kampus
dengan berjalan kaki. Rumah kosnya cukup
jauh, lokasi kampus sendiri sangat besar sehingga untuk keluar pelatarannya
saja memakan waktu 10 hingga 15 menit. Belum lagi berjalan menuju kos dengan
jalan berdebu tanpa trotoar, di saat terik.
Ia
menggenggam uang receh. Seratus, dua ratus, dan lima ratus-an rupiah. Jumlahnya
kira-kira tujuh ribu rupiah. Sudah ia rapikan dengan selotip, dan di atur per
seribu rupiah. 3 ribu untuk uang seratusan rupiah, seribu untuk uang dua
ratusan rupiah, dan tiga ribu untuk uang lima ratusan rupiah. Pas tujuh ribu. Namun
ia ragu.
Tapi
sumber utama nilai buruk semester lalu adalah kesehatannya. Ia mengalami sakit
kuning tepat pada akhir perkuliahan. Sialnya, Rio bahkan tak mampu pergi ke
dokter untuk memeriksakan diri lebih lanjut. Ia hanya pergi ke puskesmas dan
hanya mampu mengusahakan surat sakit selama tiga hari, dan di perpanjang satu
minggu atas pengertian para dosen yang sudah cukup mengerti kondisinya. Tapi tak
semua orang mengerti, dan ia memang tak menaruh harapan pada pengertian orang
lain.
Rio
sadar ia tak akan mampu menyelamatkan semua nilainya semester lalu maka ia
cukup memaksimalkan yang mampu ia maksimalkan, dan benar-benar meninggalkan
semua yang lain dari harapannya, toh… ujung-ujungnya akan diulang. Benar saja,
rentetan nilai yang ia dapat untuk tujuh mata kuliah semester lalu adalah… A,
A, C, C, D, E, dan E. Biarlah… katanya dalam hati. Dua C akan ia lahap saja,
cukup mengulang D, E, E, pada semester genap berikutnya.
Kembali
pada kebingungannya saat ini, atau tidak lagi. Ia sudah memutuskan untuk
membeli sebungkus nasi padang saja, dan memang Rio sudah berdiri di salah satu
warung nasi padang di dekat kosnya. Masalahnya, ada terlalu banyak orang. Ia masih
punya rasa malu yang besar untuk membeli makanan dengan bentuk uang yang
seperti itu. Ada banyak mahasiswa lain, dan beberapa diantara mereka adalah
adik tingkatnya.
Rio
tidak mengetahui tempat lain yang menjual nasi perkedel. Mungkin nasi telur dan
itupun harganya mencapai delapan ribu rupiah. Uangnya kurang. Warung nasi
padang di hadapannya adalah satu-satunya tempat yang ia tau, yang dapat
menolongnya saat ini. Rio bisa menunggu hingga orang-orang yang dikenalnya cabut dari
warung itu, tapi perutnya tak dapat menunggu lagi.
Rio
berpikir cepat. Ia memalingkan langkahnya menuju minimarket terdekat untuk
menukarkan uang recehnya menjadi pecahan uang kertas. Namun lagi, sialnya a
mengintip minimarket itu terlalu ramai, kali ini bukan karena malu, tapi ia
akan mengantri cukup lama untuk menukarkan uangnya. Sungguh… perutnya tak dapat
menunggu lagi.
Nyeri
mulai terasa di perutnya saat Rio kembali memalingkan arah kakinya dari
minimarket itu. Ia pernah terkena radang lambung sejak kecil karna terlalu
banyak makan mi instan. Kini, ia tak boleh terlalu lapar, atau terlalu kenyang.
Dan ia lapar sekali.
Di
persimpangan antara jalan besar dan lorong kosnya, Rio menghampiri seorang
ibu-ibu yang menjual gorengan, ia memberikan semua uang receh yang di
genggamnya. Entah bakal dapat berapa. Namun penjual itu menolak uang receh
seratusan dan dua ratusan miliknya, sempat terperanga memang, tapi akhirnya Rio
hanya tersenyum dan menerima uangnya kembali. Biarlah…
Lima
buah tahu isi dengan ukuran yang… lumayan.
Itulah yang didapatkan dari uang tiga ribu rupiah miliknya. Rio
memakannya dengan lahap sembari berjalan menuju kosnya. Ada kursi santai yang
entah sudah ada sejak kapan di teras kos itu, sesampainya di sana Rio langsung
duduk santai di atasnya sambil memakan sisa tiga buah lagi tahu isi, dua buah
sudah ia makan di perjalanan.
Sambil
makan, rio menatap langit yang cerah dari pelataran kos. Angin semilir mengguyur
wajahnya. Air mukanya nampak bahagia sekali, namun entah mengapa tanpa ia
sadari, sesuatu mengalir di pipinya. Matanya perlahan melihat langit yang mulai
terbias air mata. Ahh… tahu isi di mulutnya terasa enak sekali. Setidaknya, Rio
tak meragukan rasanya.
Ia
rindu Ibu di rumah.
0 comments:
Post a Comment
at least, tell me your name to respond your coments, thanks.