Aku
pernah mengendarai bus sebelumnya. Tidak begitu lama ini, mungkin tiga tahun
lalu. Tapi semua terasa berbeda. Sangat berbeda. Bukan… bukan tempat duduk dan
tipikal supir yang ugal-ugalan. Bukan juga penumpang yang kebanyakan tidur dan
sebagian memegang kantong plastik hitam berisi –yang sebelumnya disebut-
makanan yang seharusnya sudah di cerna perut mereka. Lebih ke dalam. Lebih
kepada apa yang aku rasakan. Sangat berbeda, dan asing.
Sebagai
seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru saja rampung kuliah aku merasa sangat
berbahagia. Tiga tahun lalu duduk di posisi yang nyaris sama seperti sekarang.
Menaiki bus besar antar pulau. Menyebrang dari andalas menuju salah satu pulau
terpadat di dunia. Mencari sesuatu ketidakpastian sebagai peluang besar.
Memasuki hiruk-pikuk ibu kota.
Waktu
itu semangat mudaku bergejolak. Aku ingin tahu banyak apa yang terjadi disana.
Aku tak sabar menunggu akan menjadi apa aku nanti. Apa yang aku kerjakan. Bukan
perkerjaan, maksudku kisah apa yang menantiku. Apakah aku akan mendapat
tetangga galak? Ibu kos yang akan selalu menagih uang sebelum jatuh tempo?
Bertemu wanita cantik di kedai kopi? Terlilit hutang karna tidak kian mendapat
pekerjaan? Lihat. Bahkan skema terlilit hutangpun membuat aku menceritakannya
dengan antusias. Semua terlihat bagaikan petualangan di dunia baru.
Tidak
kali ini. Kali ini aku tahu apa yang menungguku di sana. Aku tahu apa yang
harus aku kerjakan setiap hari. Aku tahu siapa tetanggaku dan aku tidak pernah
sekalipun memiliki takdir yang bersinggungan dengan seorang gadis cantik di
sebuah kedai kopi. Aku tahu.
Bukan
kesedihan yang aku rasakan. Aku sendiri bahkan sulit mendeskripsikannya.
Mungkin sebuah kekosongan. Dimana aku sudah mencapai batas seperti seorang
robot yang berjalan tanpa arah. Tidak hidup dan tidak mati. Atau mungkin aku
hanya rindu pada ibuku. Rindu masakannya. Rindu omelannya. Rindu suaranya yang
selalu menaruh rasa khawatir walau dia tau, aku lebih mampu hidup sendiri dari
pada dirinya.
Juga
mungkin termasuk rasa khawatir. Khawatir bahwa ini akan berlangsung selamanya.
Sebuah perjalanan tanpa rasa. Terjerumus pada rutinitas yang sama hingga tua
dan termakan usia. Khawatir tentang betapa orang lain sudah memiliki kisahnya
sendiri-sendiri. Kawin-cerai bahkan kawin lagi. ada yang telah hijrah dan
berserah diri, setelah melalui curam sulit dan liku kehidupan yang membuat hati
mereka luluh pada Tuhan. Ada yang makin hari makin menjadi. Dari masuk jeruji
semalam dua malam kini jadi buronan tetap karna bermacam tindakan kriminal
garis keras. Dan aku masih disini. Melihat keluar jendela dengan tatapan
kosong. Tiada apapun.
Kini
di usiaku yang ke 26, aku kembali menapaki jalan yang sama tiga tahun lalu
dengan perasaan yang berbeda. Menuju ketiadaan, menuju tawa palsu, menuju karir
kosong, meuju ruang hampa. Apa baiknya aku… mati saja?