MEI
Jarak antara kota
Palembang dan Jambi adalah 275 km. Namun itu hanya antar perbatasannya saja.
Untuk mencapai tujuan masing-masing tempat di dalam kota, setidaknya kita harus
menempuh 290 km. Ya, 290 km.
Jika kita melaju dengan
kendaraan berkecepatan rata-rata 60 km/ jam, kita setidaknya akan sampai dalam
waktu 4,83 jam. Oke bulatkan saja 5 jam. Jika mengambil waktu istirahat
sekiranya 1 jam, maka kita akan sampai dalam waktu 6 jam. Belum lagi hal lain.
Hal lain? Ya, hal lain.
Seperti jalan yang rusak. Saat ini, jalan rusak pada rute lintas sumatera
Palembang-Jambi mungkin sudah mencapai puncaknya. Membuat pengendara harus
senantiasa berhati-hati karna nyawa taruhannya. Mau tidak mau, kecepatan
rata-rata harus berkurang karena terkadang… bukan, bukan terkadang, namun
sering kali kita memelankan laju kendaraan secara tiba-tiba karna lubang besar
yang mengerikan. Belum lagi masalah lanjutan yang mengikuti jalan rusak ini.
Macet, juga kecelakaan lalu lintas. Oke… kita minimalkan saja, anggaplah
bertambah 2 jam karena semerawutnya masalah jalan rusak ini. Kini, waktu tempuh
menjadi 8 jam.
Apakah ada hal lain
lagi? ya… cuaca. Terkadang cerah memang… namun kasusnya dalam cerita ini begitu
berbeda. Lebih dari 200 km harus ditempuh dengan hujan lebat, gemuruh, angin,
dan petir menyambar. Jarak pandang berkurang… terkadang hanya 10 meter ke depan
walau sudah menggunakan lampu tembak. Jalan yang tergenangpun membuat sulit
menerka dimana letak lubang besar itu? sesekali roda harus tergoyah sedikit…
termasuk kedalam lubang. kini dengan sangat terpaksa harus memelankan laju
kendaraan lagi lebih dari sebelumnya, begitu pelan hingga tak sampai 40 km/
jam. Sepanjang perjalanan hanya Tuhan dan kata-kata baik yang kita ingat. Waktu
tempuh? Sudah tak tau lagi. tidak usah dihitung… yang penting sampai tujuan
dengan selamat, nanti dulu yang lain-lain.
Lalu, ada apa dengan
Mei? Yang menjadi judul pada tulisan satu ini. Yang mengaku bahwa dirinya
adalah sebuah “cerpen romansa”. Ya… ini adalah cerpen romansa, jika kau bisa
melihat isinya. Jika tidak, ya sudahlah… biar aku terangkan saja.
Begini, ini adalah
Februari, sudah di penghujungnya. Dan ini, adalah cerita tentangnya. Tentang
dia yang bergerak menuju Mei. Mei… adalah tujuannya. Jauh memang, ada jarak
antara mereka. Bukan hanya jarak karena bumi ini memiliki batasannya dalam
satuan matematis, namun juga jarak-jarak lainnya.
Ada juga waktu yang
mengekang untuk sampai dengan harus, dan benar-benar harus… tidak dapat
dipungkiri, dihindari, atau dikecualikan, harus melewati Maret dan April. Bukan
main… bukan satu atau dua, tapi 61 hari. Dengan waktu dalam hitungan jam yang
bisa kau hitung sendiri. Kau pikir itu singkat? Sebentar? Maka kau belum
mengerti romansa. Karena dalam cerita tentang cinta, satu detik… bisa selamanya.
Ada juga rintangan
diantaranya, diantara jarak dan waktu… ada jalan berlobang, ada macet yang
menghadang dan kecelakaan yang semoga saja bukan kita korbannya. Belum lagi
panas atau hujan yang dua-duanya bisa sama-sama menorehkan keterlambatan, dan
penundaan. Membuat kita yang lambat terkadang menyerah untuk bertanding. Ambil
jalan pintas saja… naik pesawat kan bisa? Mahal… dan tanpa perjuangan. Hanya
mengadu pada nasib, jika di ridhoi Tuhan maka sampailah. Jika tidak, maka
sampai juga, tapi ke alam baka. Dan tidak, itu tidak akan menyelesaikan
masalah… karna hanya memangkas jarak, bukan waktu. Hanya jarak bentuk fisik
pula, bukan jarak-jarak lainnya yang mungkin lebih penting.
Apalah daya Februari,
yang bahkan tak pernah kenal hari ke 30. Apa daya?
Namun begitu,
seberapapun jarak yang harus ditempuh… Seberapapun lama waktu yang dibutuhkan…
dan seberat apapun rintangan yang ada diantara keduanya. Toh… pada akhirnya,
Februari akan sampai pada Mei juga.