APA
IYA?
Saya
tinggal terpisah dari keluarga saya sudah sejak waktu yang lama dan untuk
banyak alasan tertentu. Tahun 2013, keluarga saya pindah ke tempat dimana
jangankan sinyal internet, sinyal untuk telfon saja harus mencari spot yang bagus
supaya bisa bicara dengan nyaman dan tanpa terputus-putus. Lebaran tahun 2013
adalah pertama kalinya saya mudik kesana, dan saya benar-benar stress
memikirkan bagaimana saya harus menjauh dari internet untuk sementara waktu.
Apa yang harus saya lakukan disana nanti dan bagaimana saya bisa menghabiskan
kebosanan jika hanya ada televisi dan… suara-suara nyamang (sejenis monyet).
Saya
benar-benar stress dan mulai mencari bagaimana cara membuat hotspot portable dengan sebatang modem
murah dan baskom plastik bekas. Iya. dan itu ada.
Padahal,
saat saya stress dan memikirkan hal itu, saya masih menggenggam hp, berhadapan
dengan laptop, dan memiliki koneksi internet. Kok ya saya sempet-sempetnya
stress ya, buat apa? Apa iya hidup tanpa internet sementara waktu akan membuat
saya stress? Lebih stress dari saat ini? saat saya memikirkan bahwa saya akan
stress? Lucu.
You know what?
Kalo Anda sudah terbiasa bermain medsos setiap hari dan mendapat begitu banyak
informasi, lalu Anda beralih ke tempat jangankan untuk bermain media sosial,
bermain tetris di hp pun tidak, maka Anda akan dilanda kebosanan yang luar
biasa. Itu pasti. Saya juga demikian. Setidaknya untuk beberapa waktu.
Tapi
poin pentingnya, saya tidak stress. It
suck. Jelas. Bosan… jelas. Rindu kota? Iya. Tapi apakah saya stress? Tidak.
Ternyata
hanya dengan mengakui bahwa sesuatu tidak menyenangkan dan tidak kita sukai,
kita tidak akan dilanda pikiran yang macam-macam. Apa lagi stress. Dengan
begini saya sedikitnya mengerti, bahwa bukan kesulitan yang banyak membunuh
karakter saya atau mungkin juga Anda, tapi kecemasan akan kesulitan tersebut.
Selalu
tanyakan pada diri Anda, apa iya?
Seorang
pelajar mendatangi guru BK kesayangannya dan mengadu tentang bagaimana orang
tuanya memiliki ambisi yang besar padanya, padahal dia sendiri tidak yakin pada
dirinya. Pelajar itu, memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depannya. Ia
ingin menjadi ini dan itu, banyak sekali ceritanya, selayaknya remaja usia
17-an.
Kisah
keluh kesahnya berlanjut hingga berminggu-minggu lamanya. Tentang ia yang
merasa tertekan akan sikap orang tuanya, tentang teman-temannya yang sudah
mulai mengejar mimpi mereka masing-masing, dan tentang dia yang masih
terbelenggu belajar untuk sesuatu yang menurutnya tidak disukainya sama sekali.
Kemudian
guru BK itu bertanya, dia ingin jadi apa?
Dia
menjawab, ingin menjadi artis. Minimal, youtuber.
I know right?hmmmmmm…
Yang
jadi masalah disini bukan cita-cita si pelajar, tapi bagaimana dia memandang
keinginannya tersebut. Apa iya dia ingin jadi youtuber? Atau dia ingin jadi
seperti seseorang yang sering ia tonton di youtube? Karna faktanya, sebenarnya
nilai pelajar tersebut sangat baik dalam biang akademis. Akan sangat wajar jika
orang tuanya berharap padanya. Sungguh. Dia bisa terbilang jenius.
Selidik
punya selidik, ternyata sebenarnya si pelajar bukan ingin jadi youtuber atau
yang lainnya. Ia hanya takut gagal. Setelah semua keberhasilan selama ini, ia
takut jika suatu saat ada nilai jelek, atau ia tak masuk perguruan tinggi favorite, atau ia tak lulus Ujian
Nasional dengan nilai memuaskan, ia takut melihat reaksi orang-orang di
sekitarnya. Dia cemas.
Padahal
dengan semua kemampuan dan pengetahuannya selama ini, jikapun dia gagal,
kegagalan itu tidak akan melemahkan dia. Justru akan memperkuat. Bayangkan…
jika seorang hanya memiliki sedikit kelemahan di bidang tertentu dan akhirnya
dia mengetahui kelemahan itu dan memperbaikinya. Maka ia akan makin kuat dan
sukses di bidang tersebut.
Tidak
terbayangkan jika kecemasan itu semakin mengambil alih kesadaran dan membunuh
karakternya. Ia bahkan sampai lupa, bahwa sebenarnya ia suka belajar. Suka
mencari tau hal baru, suka menyelesaikan masalah. Kemudian ia mulai mendapat
nilai jelek secara sengaja, hanya agar orang terbiasa melihat ia memiliki nilai
jelek, dan suatu saat jika ia gagal, orang-orang tidak akan kaget lagi. padahal
dia bisa sukses.
Harusnya,
ia terima saja apapun yang akan ia dapat kelak. Pertama, ia harus mengakui
bahwa memang benar ia suka belajar dan memang benar dia suka berkerja keras
kemudian mendapatkan nilai yang baik. Kedua, jangan pikirkan tentang hasil. Toh…
sebenarnya dari awal dia memang suka mengerjakan soal matematika atau fisika
yang njelimet, kerjakan saja. Ketiga, jangan lakukan untuk orang lain. Jika
memang suka akui, jika tidak, katakan saja… tidak akan apa-apa.
Nah…
untuk kasus si pelajar di atas, ini masalah kecemasan yang membuat ia
teralihkan. Ia mulai fokus pada hal lain selain hal yang ia sukai. Ia fokus
tentang bagaimana penilaian orang lain terhadapnya. Kemudian ia mencari
pelarian, suatu alasan yang membuat ia menghindari resiko jika saja ia gagal
suatu hari nanti. Kalau ada yang bertanya, “kok tumben nilaimu kecil?” . maka
ia sudah menyiapkan jawaban… “iya karna sebenarnya bukan passion aku disitu.” Dengan seluruh upaya repotnya tadi. Padahal
sebenarnya ia bisa bilang… “sekali-sekali gapapalah.” Atau saat ia tak lulus
PTN favorite, ia masih bisa mencoba
tahun depan. Atau masuk lewat jalur lainnya, atau masuk PTS favorite, atau masuk sekolah kedinasan,
untuk otaknya… ada banyak opsi. Dan itu tidak apa-apa. Namun ia takut kegagalan
itu… padahal sebenarnya, ia menyukai jika saja memang sukses di jalan tersebut.
Jangan takut! lakukan saja... Jika gagal, terima dan move on.
Pernah
dengar kisah katak tuli yang sukses mendaki? Kalau belum bacalah… di era
kekejaman netizen seperti sekarang ini, kalian wajib membaca dongeng itu.
Tapi
bagaimana jika ia benar bercita-cita menjadi youtuber?
Tentu
itu tidak apa-apa. Ia harus mengatakanya. Tapi ingat sekali lagi, jika Anda
berada pada posisi pelajar tersebut, selalu tanyakan pada diri Anda… Apa iya?
Karena
semua jalan memiliki resikonya masing-masing. Jangan melihat hasil dan jangan
menjadi orang lain. Jika memang ingin jadi youtuber, sudah siapkah jika Anda
gagal di jalan tersebut? Membuat konten dengan budget jutaan rupiah dan hanya di tonton puluhan orang (misalnya).
Jika Anda kembali memikirkan tentang bagaimana nanti pendapat orang lain jika
saya tidak memiliki banyak view dan
kapan saya bisa terkenal seperti bla… bla… bla… maka Anda perlu berhenti
sejenak dan berfikir ulang tentang goal
anda sebenarnya, apa iya ini jalan yang Anda inginkan? Atau hanya sekedar
pelarian? Atau hanya ingin seperti si anu?
Gary
Vay-Ner-Chuk, seorang entrepreneur, investor,
dan salah satu influencer dengan jutaan follower pernah mengatakan yang artinya
kurang-lebih begini… “sukses pada suatu hal berarti gagal jutaan kali dalam hal
tersebut”. Artinya… kesuksesan itu bukan sebuah akhir, namun perjalanan panjang
dari kegagalan satu ke kegagalan lainnya. Jika Anda takut gagal, cemas akan hal
tersebut, itu sama saja Anda takut sukses.
Bukan
berarti menerima kegagalan itu mudah… saya juga sama seperti Anda, dan si
pelajar tadi. Malahan saya menulis ini karna saya memiliki keresahan pada suatu
hal yang sama, bagaimana jika saya gagal?
Tapi
toh… pada akhirnya kita harus belajar menyongsong kegagalan bersama-sama.
Semakin sering kita menghindar dan mengindahkan rasa cemas tersebut secara
berlebihan, semakin jauh kita dari tujuan dan keinginan kita semula. Kita akan
semakin tersesat tentang cita-cita dan mulai bingung, sebenarnya apa yang kita
sukai, apa yang kita ingin lakukan. Padahal jawabannya ada di depan mata, kita
hanya tinggal belajar menerima, jika
saja suatu saat kegagalan menghampiri.
Rasa
cemas itu pasti akan selalu ada, tapi tidak akan apa-apa, jalani saja. Ayo…
kita bersama-sama gagal, ayo kita bersama-sama mengakuinya dan tetap
Semangaaattttt!!!!
Widiwww…..