masih berjalan menuju suatu perbuatan antara haq dan kebatilan. kususuri tiap terjal batu jalanan gersang dimana kehidupan tak memunculkan batang hidungknya. kulalui lalang kering yang nampaknya takkan melestarikan jenisnya lagi. mata ini mulai pedas, merah , meleleh bagai terkena jilatan api neraka.
pandangan inipun mulai kabur entah kemana arahnya. hingga berhenti pada satu titik terang, dengan dihiasi sedikit bercak-bercak putih. angkasa. lalu disusul dengan datangnya kegelapan murni karna kelopak mata yang tlah terlalu lelah memanggul badanyya sendiri.
saat terbangun aku sadar bahwa tlah ditemani seorang sahabat berwujud pria yang baik hati ( sepertinya ). manusia ini memandangku dengan tatapan teduh. melebihi teduhnya beringin terbesar sekalipun. lalu ia bertanya padaku.
"apa yang bisa membuatmu hidup di dunia ini?"
"mungkin hanya untuk menghias dunia wahai teman." jawabku.
"apakah aku tampak bagai seorang teman untukmu?"
"apakah kau juga ingin kupanggil tuan? wahai teman..."
"engkau ini hina. bahkan tak halal untuk diembelih."
"mungkin tuanmu bermaksud lain akan keberadaanku."
sehabis itu aku terus berjalan bersama manusia ini. aku terus memandangnya ketika lapar, ataupun dahaga. hingga rasa lapar itu akan malu untuk menampakkan wujudnya lagi. setelah beberapa lama lama menjalani kehidupan dengan seorang sahabat, aku lelah juga. heran... melihat tonjolan layaknya orang bungkuk yang ada dipunggungnya.
"wahai sahabat, tonjolan apa yang ada dipunggungmu itu?" tanyaku padanya.
"sesungguhnya akan terjadi keburukan lebih dari yang kau bayangkan jika kau ingin melihatnya."
"dunia ini begitu luas... aku tak mampu jika harus terus berjalan dengan hanya berteman sepi. mungkin akan lebih bahagia jika ada yang baru." kataku lagi.
"apa kau sudah tak percaya lagi padaku?" ia sedikit membentak.
aku hanya berjalan, berjalan dan terus berjalan mengikuti langkahnya. hingga puluhan, bukan, ratusan tahun. sampai akhirnya aku tergeletak terlentang. pertunjukkan yang sangat jarang terjadi. cepat ia berbalik dan melihat kepadaku. dibukanya sebelah jubah dari punggungnya yang menonjol itu. kemudian direntangkan. sebuah sayap, begitu besarnya... menyelimuti bumi. bayangan hitam yang tadinya akan datang menghampiri, terhalang oleh sayap yang begitu besar itu. mataku tetap menyempit menuju pejam.
"jibril, katakan pada tuhanmu, bahwa dunia ini... ternyata begitu sempit." ujarku.
"darimana kau tau aku jibril?" ia bertanya.
"kau kira sayapmu itu kurang besar untuk ku lihat? sudahlah tak usah kau halangi... memang sudah waktuku!
anjing yang mati sia-sia