Stories and Sh*t

Thursday, June 4, 2020

Pergi...



Aku pernah mengendarai bus sebelumnya. Tidak begitu lama ini, mungkin tiga tahun lalu. Tapi semua terasa berbeda. Sangat berbeda. Bukan… bukan tempat duduk dan tipikal supir yang ugal-ugalan. Bukan juga penumpang yang kebanyakan tidur dan sebagian memegang kantong plastik hitam berisi –yang sebelumnya disebut- makanan yang seharusnya sudah di cerna perut mereka. Lebih ke dalam. Lebih kepada apa yang aku rasakan. Sangat berbeda, dan asing.

Sebagai seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru saja rampung kuliah aku merasa sangat berbahagia. Tiga tahun lalu duduk di posisi yang nyaris sama seperti sekarang. Menaiki bus besar antar pulau. Menyebrang dari andalas menuju salah satu pulau terpadat di dunia. Mencari sesuatu ketidakpastian sebagai peluang besar. Memasuki hiruk-pikuk ibu kota.

Waktu itu semangat mudaku bergejolak. Aku ingin tahu banyak apa yang terjadi disana. Aku tak sabar menunggu akan menjadi apa aku nanti. Apa yang aku kerjakan. Bukan perkerjaan, maksudku kisah apa yang menantiku. Apakah aku akan mendapat tetangga galak? Ibu kos yang akan selalu menagih uang sebelum jatuh tempo? Bertemu wanita cantik di kedai kopi? Terlilit hutang karna tidak kian mendapat pekerjaan? Lihat. Bahkan skema terlilit hutangpun membuat aku menceritakannya dengan antusias. Semua terlihat bagaikan petualangan di dunia baru.

Tidak kali ini. Kali ini aku tahu apa yang menungguku di sana. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan setiap hari. Aku tahu siapa tetanggaku dan aku tidak pernah sekalipun memiliki takdir yang bersinggungan dengan seorang gadis cantik di sebuah kedai kopi. Aku tahu.

Bukan kesedihan yang aku rasakan. Aku sendiri bahkan sulit mendeskripsikannya. Mungkin sebuah kekosongan. Dimana aku sudah mencapai batas seperti seorang robot yang berjalan tanpa arah. Tidak hidup dan tidak mati. Atau mungkin aku hanya rindu pada ibuku. Rindu masakannya. Rindu omelannya. Rindu suaranya yang selalu menaruh rasa khawatir walau dia tau, aku lebih mampu hidup sendiri dari pada dirinya.

Juga mungkin termasuk rasa khawatir. Khawatir bahwa ini akan berlangsung selamanya. Sebuah perjalanan tanpa rasa. Terjerumus pada rutinitas yang sama hingga tua dan termakan usia. Khawatir tentang betapa orang lain sudah memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Kawin-cerai bahkan kawin lagi. ada yang telah hijrah dan berserah diri, setelah melalui curam sulit dan liku kehidupan yang membuat hati mereka luluh pada Tuhan. Ada yang makin hari makin menjadi. Dari masuk jeruji semalam dua malam kini jadi buronan tetap karna bermacam tindakan kriminal garis keras. Dan aku masih disini. Melihat keluar jendela dengan tatapan kosong. Tiada apapun.

Kini di usiaku yang ke 26, aku kembali menapaki jalan yang sama tiga tahun lalu dengan perasaan yang berbeda. Menuju ketiadaan, menuju tawa palsu, menuju karir kosong, meuju ruang hampa. Apa baiknya aku… mati saja?


Share:

Tuesday, November 26, 2019

The Log

EPISODE 1


Aku berdiri di ujung tebing. Mencari ujung dunia di balik cakrawala. Melihat di kejauhan tempat mentari mulai terbenam. Di bawah tebing sudah mulai dirayapi gelap. Perlahan namun pasti gelap itu merayap dan menggapai ke arahku juga. Disini, di atas tebing.
Share:

Saturday, August 24, 2019

cepat datang


Ada  masa dimana sebuah senyum saja bisa membuat bahagia sepekan penuh
Ada masa dimana rindu menyiksa lebih dari digigit lebah
Ada masa dimana duduk berdua dalam diam lebih nikmat dari gombal termanis
Ada masa dimana cemburu membuat mati rasa hingga ke ulu hari, seakan tak apa mati hari ini
Ada masa ketika cinta datang membawa sedikit rasa, namun mendalam
Tapi bukan saat ini.
Share:

Thursday, April 18, 2019

Ini dan Itu part 1




Semua orang memiliki keraguan. Beberapa menyangkalnya, beberapa terlalu melebihkannya, namun… semua orang punya. Ada yang mengabaikannya, menjaga hatinya pada semua yang pasti. Ada yang menantangnya, memasuki pertempuran dalam sebuah pencarian kepastian. Memastikan ia hilang selamanya, dan menjadikan keyakinan itu lebih kuat dari sebelumnya.

Rio, ragu untuk saat ini. ia sudah berulang kali menahan sore dengan perut keroncongan. Tak tertahan pula bagaimana letihnya perjalanan pulang kampus dengan berjalan kaki. Rumah  kosnya cukup jauh, lokasi kampus sendiri sangat besar sehingga untuk keluar pelatarannya saja memakan waktu 10 hingga 15 menit. Belum lagi berjalan menuju kos dengan jalan berdebu tanpa trotoar, di saat terik.

Ia menggenggam uang receh. Seratus, dua ratus, dan lima ratus-an rupiah. Jumlahnya kira-kira tujuh ribu rupiah. Sudah ia rapikan dengan selotip, dan di atur per seribu rupiah. 3 ribu untuk uang seratusan rupiah, seribu untuk uang dua ratusan rupiah, dan tiga ribu untuk uang lima ratusan rupiah. Pas tujuh ribu. Namun ia ragu.

Share:

Sunday, February 24, 2019

MEI



MEI

Jarak antara kota Palembang dan Jambi adalah 275 km. Namun itu hanya antar perbatasannya saja. Untuk mencapai tujuan masing-masing tempat di dalam kota, setidaknya kita harus menempuh 290 km. Ya, 290 km.

Jika kita melaju dengan kendaraan berkecepatan rata-rata 60 km/ jam, kita setidaknya akan sampai dalam waktu 4,83 jam. Oke bulatkan saja 5 jam. Jika mengambil waktu istirahat sekiranya 1 jam, maka kita akan sampai dalam waktu 6 jam. Belum lagi hal lain.

Hal lain? Ya, hal lain. Seperti jalan yang rusak. Saat ini, jalan rusak pada rute lintas sumatera Palembang-Jambi mungkin sudah mencapai puncaknya. Membuat pengendara harus senantiasa berhati-hati karna nyawa taruhannya. Mau tidak mau, kecepatan rata-rata harus berkurang karena terkadang… bukan, bukan terkadang, namun sering kali kita memelankan laju kendaraan secara tiba-tiba karna lubang besar yang mengerikan. Belum lagi masalah lanjutan yang mengikuti jalan rusak ini. Macet, juga kecelakaan lalu lintas. Oke… kita minimalkan saja, anggaplah bertambah 2 jam karena semerawutnya masalah jalan rusak ini. Kini, waktu tempuh menjadi 8 jam.

Apakah ada hal lain lagi? ya… cuaca. Terkadang cerah memang… namun kasusnya dalam cerita ini begitu berbeda. Lebih dari 200 km harus ditempuh dengan hujan lebat, gemuruh, angin, dan petir menyambar. Jarak pandang berkurang… terkadang hanya 10 meter ke depan walau sudah menggunakan lampu tembak. Jalan yang tergenangpun membuat sulit menerka dimana letak lubang besar itu? sesekali roda harus tergoyah sedikit… termasuk kedalam lubang. kini dengan sangat terpaksa harus memelankan laju kendaraan lagi lebih dari sebelumnya, begitu pelan hingga tak sampai 40 km/ jam. Sepanjang perjalanan hanya Tuhan dan kata-kata baik yang kita ingat. Waktu tempuh? Sudah tak tau lagi. tidak usah dihitung… yang penting sampai tujuan dengan selamat, nanti dulu yang lain-lain.

Lalu, ada apa dengan Mei? Yang menjadi judul pada tulisan satu ini. Yang mengaku bahwa dirinya adalah sebuah “cerpen romansa”. Ya… ini adalah cerpen romansa, jika kau bisa melihat isinya. Jika tidak, ya sudahlah… biar aku terangkan saja.

Begini, ini adalah Februari, sudah di penghujungnya. Dan ini, adalah cerita tentangnya. Tentang dia yang bergerak menuju Mei. Mei… adalah tujuannya. Jauh memang, ada jarak antara mereka. Bukan hanya jarak karena bumi ini memiliki batasannya dalam satuan matematis, namun juga jarak-jarak lainnya.

Ada juga waktu yang mengekang untuk sampai dengan harus, dan benar-benar harus… tidak dapat dipungkiri, dihindari, atau dikecualikan, harus melewati Maret dan April. Bukan main… bukan satu atau dua, tapi 61 hari. Dengan waktu dalam hitungan jam yang bisa kau hitung sendiri. Kau pikir itu singkat? Sebentar? Maka kau belum mengerti romansa. Karena dalam cerita tentang cinta, satu detik… bisa selamanya.

Ada juga rintangan diantaranya, diantara jarak dan waktu… ada jalan berlobang, ada macet yang menghadang dan kecelakaan yang semoga saja bukan kita korbannya. Belum lagi panas atau hujan yang dua-duanya bisa sama-sama menorehkan keterlambatan, dan penundaan. Membuat kita yang lambat terkadang menyerah untuk bertanding. Ambil jalan pintas saja… naik pesawat kan bisa? Mahal… dan tanpa perjuangan. Hanya mengadu pada nasib, jika di ridhoi Tuhan maka sampailah. Jika tidak, maka sampai juga, tapi ke alam baka. Dan tidak, itu tidak akan menyelesaikan masalah… karna hanya memangkas jarak, bukan waktu. Hanya jarak bentuk fisik pula, bukan jarak-jarak lainnya yang mungkin lebih penting.

Apalah daya Februari, yang bahkan tak pernah kenal hari ke 30. Apa daya?

Namun begitu, seberapapun jarak yang harus ditempuh… Seberapapun lama waktu yang dibutuhkan… dan seberat apapun rintangan yang ada diantara keduanya. Toh… pada akhirnya, Februari akan sampai pada Mei juga.

Share:
www.bocup.info. Powered by Blogger.

Featured Post

Rama

Malam ini hujan lagi. Sendu.. Kesendirian.  Ingin ku gapai rindu,  namun  tak terbesit satu namapun di hati. Apakah ini rasanya hampa? ...

Contributors